(1)

155 26 40
                                    

Langit yang semula gelap gulita kini perlahan menjadi memudar ke warna yang lebih terang. Sinar matahari menembus kaca jendela kamar Solji yang tertutup gorden. Namun, gadis itu masih terlelap -ralat, baru saja terlelap.

Sementara ia terlelap, orang-orang di lantai bawah sibuk beraktivitas menjalani rutinitas pagi.

"Kalian pulang jam berapa kemarin?", tanya Ny. Kang pada anak sulungnya itu.

Kino yang baru saja hendak menarik kursi itu pun memilih untuk duduk terlebih dahulu baru menjawab, "Jam setengah 1. Mungkin sekitar jam 1-an sampai di rumah"

"Ya, tidak apa. Selama tidak pulang pagi saja", balas ibunya sambil menyiapkan makanan di atas meja makan.

Mungkin hampir bagi semua orang perilaku Ny. Kang sedikit aneh untuk anaknya. Biasanya, anak gadis selalu di suruh pulang jangan terlalu larut malam. Namun, Ny. Kang tidak melarang Solji.

Alergi. Ya, dia alergi matahari. Aneh bukan? Manusia biasa selalu melakukan aktivitas di saat matahari mulai terbit dan beristirahat di saat gelap. Dulu Solji juga pernah merasakan hidup seperti itu. Namun, hal itu hanya terjadi saat ia masih di bangku SD.

Saat itu, ia sedang dalam pelajaran olahraga. Keringat bercucuran deras di badannya. Wajahnya benar-benar memerah dan memunculkan bintik-bintik yang cukup besar --bentol-- pada bagian yang berkeringat. Anak kecil seusianya pada waktu itu pasti menangis karena kesakitan dan bingung harus bagaimana. Tangisan itu malah justru memperburuk alergi itu karena semakin panas suhu tubuh di dalamnya.

Orang tuanya pun langsung membawa ke dokter untuk mengetahui apa yang terjadi pada anak mereka. Berdasarkan gejalanya, hal ini dapat dipastikan alergi matahari. Namun, anak ini tidak menunjukkan ciri penyakit photodermatitis, Xeroderma Pigmentosum (XP), dan penyakit lainnya. Dokter hanya bisa memastikan bahwa anak itu tidak bisa terkena pancaran sinar matahari, panas, dan berkeringat.

Pulang dengan perasaan yang cukup kecewa karena tidak terjawab sepenuhnya, akhirnya keluarga Kang memutuskan untuk menghindari sumber alerginya saja. Mereka pun menjaga ketat Solji supaya tidak terkena sinar matahari langsung.

"Kau bisa menemaninya lagi kan hari ini? Eomma sudah janji padanya untuk memperbolehkannya keluar malam ini", pintanya pada anak tertuanya itu.

"Hmm...", mata Kino menerawang ke atas sambil mengingat-ingat jadwalnya malam ini, "Sepertinya tidak bisa. Tapi, kalau menjemputnya aku bisa", tawar Kino.

Ny. Kang berhenti menata piring di atas meja, "Kino, temanilah adikmu minimal dua jam. Bagaimana pun juga dia kan seorang gadis", tawar ibunya lagi.

"Ahh,,, eommaaa...... Aku sudah janji dengan temanku", rengeknya seperti anak kecil. Yah, siapa tahu saja wajah memelasnya bisa mengubah pikiran ibunya.

"Potong uang jajan atau ditambah?"

"3 jam pun aku sanggup, eomma", jawab Kino mantap dengan cepat tanpa ragu.

"Sip! Kau tidak perlu mengantarnya. Kau susul saja 3 jam sebelum jam pulang yang ia tentukan. Fighting!", ucap Ny. Kang menyemangati anak sulungnya itu. Sedangkan, Kino hanya mengangguk pasrah.

********

Jam terus berdetik, matahari semakin ke arah barat, aktivitas pun semakin berkurang. Solji terbangun dari tidurnya. Jika seseorang terbangun karena sinar matahari yang menembus ke arah jendela kamar, hal ini berbeda dengan Solji. Ia terbangun di saat sinar matahari meredup di jendela kamarnya. 

"Ughh....", ia meregangkan badannya dan beranjak dari Kasur ke kamar mandi.

Ia turun ke bawah untuk melihat orang di rumah. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di lantai dasar. Sepertinya, orang tuanya masih bekerja dan Kino masih berada di kampus.

Allergic to Sunshine | HoshiWhere stories live. Discover now