Petrichor {10}

9.3K 868 52
                                    

Sepuluh

Kesan pertama yang buruk dari pertemuanku dengan Januari cukup termaafkan dengan jasanya menemukan Jono pada pertemuan kedua kami. Dan semuanya mulai terhapuskan dengan caranya membuat Daraz kesal pada malam itu. Kami tak pernah bertemu lagi setelahnya. Sampai pada siang hari yang mendung, di perpustakaan kampus yang sepi itu. Kami kembali bertemu, dalam suasana yang membangkitkan kesan yang lebih buruk. Januari berciuman dengan seorang cewek, juniorku di kampus.

Setelah mendengar aku memanggil namanya, Januari menatapku tanpa melepaskan ciumannya. Selama beberapa detik, aku berdiri canggung menatapi mereka berdua seperti seorang anak kecil memergoki anak kecil lainnya yang sedang berciuman. Kemudian, aku berjalan menuju meja Penjaga Perpustakaan untuk melaporkan apa yang baru saja kulihat. Aku tak yakin apakah aku benar-benar akan melakukannya atau tidak. Yang pasti, aku hanya ingin segera pergi dari sana. Saat itulah, Januari mengejarku.

“Sayang, tunggu!”

Langkahku terhenti secara otomatis setelah Januari mengulangi kata-katanya dan menegaskan bahwa kata ‘sayang’ itu memang ditujukan untukku. Belum sempat aku melakukan dan mengatakan apa-apa, serta-merta Januari memelukku dari belakang.

“Sayang, maafin aku. Aku nggak bermaksud ngekhianatin kamu. Aku bisa jelasin semuanya....”

Ternyata, dia lebih mesum daripada yang kuduga. Sebelum Januari mengatakan dan melakukan hal-hal di luar dugaan, aku buru-buru melepaskan pelukannya, lantas berbalik dan menamparnya sekuat tenaga.

Januari meringis sambil mengelus bagian pipinya yang kutampar tadi. “Maafin aku, Sayang...,” ucapnya, lirih. Dia lantas membuat gerakan lewat bola matanya, seperti sedang mengirimkan kode-kode rahasia kepadaku. Aku nyaris mengonfrontasinya, sampai dia menempelkan telunjuk di bibirnya, dan mengirimkan kode yang lebih jelas. Dia melirik ke arah cewek yang berdiri di belakangnya itu. Lalu, seperti sesuatu yang terencana secara tiba-tiba namun cukup cemerlang, dia meraih tanganku dan memaksaku pergi dari perpustakaan itu bersamanya.

***

Aku sempat menduga, namun tidak serta-merta memercayainya. Bahkan, setelah Januari mengungkapkan semuanya. Saat kami sudah keluar dan menjauh dari perpustakaan, Januari menjelaskan bahwa gadis itu baru ditemuinya dua kali, dan tampaknya ia terobsesi kepada Januari.

“Awalnya, kita kenalan di Friendster. Dia sering kirim testi, terus nge-inbox, ngajak kenalan, ngasih nomer handphone dan id chatting. Ya gue save aja nomer sama id-nya. Dan kita pun mulai chatting, lanjut teleponan,” ungkap Januari.

“Setelah kenalan dua minggu, kita kopi darat,” lanjutnya. “Ya... mukanya nggak jauh-jauh amat dari fotonya. Nggak menipu. Enak diliat. Dan waktu ngobrol lumayan seru. Abis itu, dia jadi mulai possesif dan agresif. Tiap hari bilang kangen. Maksa-maksa ngajak ketemuan. Gue bilang, gue sibuk. Tapi dia tetep maksa. Ya akhirnya gue bilang iya. Tapi harus di kampusnya dia. Asumsi gue, kalau ketemuannya di kampusnya dia, ya dia nggak bakal macem-macem. Tapi ternyata gue salah duga. Dia ngajak gue ke perpus. Bilangnya, minta ditemenin nyari buku buat bahan tugas. Terus, dia jatuhin beberapa buku. Bilangnya sih nggak sengaja. Pas gue bantu buat mungutin tuh buku, tiba-tiba dia pegang tangan gue, terus nyosor gue....”

“Dan kamu bales nyosor dia.” Aku memotong kalimatnya.

“Hei, nggak kayak gitu, Jul,” bantah Januari, dengan tampang yang—tumben-tumbenan—serius.

“Alah... buktinya tadi kamu keliatan menikmati banget ciuman kalian. Dan aku nggak percaya kalau tuh cewek nyosor kamu duluan. Kalaupun emang iya, kamu nggak usah munafik sok-sok nggak mau tapi kenyataannya ngerespon ciuman dia sebergairah itu.”

“Sebergairah itu?” Januari lantas tertawa. “Sumpah, Jul, gue nggak sebergairah yang lo pikirin. Itu tadi cuma reaksi yang wajar ketika ada seseorang yang mencium lo secara tiba-tiba. Gue cuma nggak mau bikin dia tersinggung dengan tiba-tiba nolak ciumannya. Lo pasti ngerti maksud gue. Lo pernah ciuman, kan?! Lo pasti bisa bedain kayak gimana ciuman yang terencana, dan kayak gimana ciuman yang insidental.”

PetrichorWhere stories live. Discover now