Petrichor {4}

11K 991 20
                                    

Empat

Bunyi klakson dua kali dari sedan hitam di luar pintu pagar itu sudah sangat kukenali. Aku sedang memberi makan Jono dan memastikan dia terikat kuat supaya tak bisa berjalan-jalan lalu nyasar seperti semalam (Alfa merasa sangat bersalah atas hal ini, tetapi memang tak ada pilihan lagi selain mengikat Jono). Kandang Jono berada di pojok halaman depan, di bawah pohon mangga yang belum musimnya berbuah. Dari tempatku berada, sedan hitam itu terlihat cukup jelas.

“Hai, Raz,” sapaku kepada si pemilik mobil setiba di dekatnya dan dia menurunkan kaca jendela sebelah kiri.

“Hai, Jul.” Daraz membalas sapaanku sambil tersenyum. “Delta... udah siap-siap?”

“Siap-siap? Delta udah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu. Dijemput temen kampusnya.”

“Oh ya?” Sesaat, Daraz membetulkan letak kacamatanya, sebelum mengecek ponselnya. Selama beberapa detik, dia sibuk menekan-nekan keypad, kemudian berkata, “Wah, kayaknya handphone-ku bermasalah. Kemarin, nggak bisa nelpon nomor-nomor tertentu. Dan sejak pagi tadi, dia sering mati-hidup-mati-hidup. Jadinya banyak SMS yang telat masuk.”

“Harus buru-buru dibenerin, Raz. Takutnya, nanti malah bikin miskomunikasi. Nggak cuma sama Delta, tapi juga sama semua kontak penting di handphone kamu.”

Daraz mengangguk. Menatapku dengan sepasang mata yang teduh di balik lensa kacamatanya itu, Daraz bertanya, “Kamu... ada jadwal kuliah?”

“Ada. Kenapa?”

“Mau pergi bareng?”

“Nggak, Raz. Makasih. Nanti kamu telat, lagi.” Arah kampus kami berlawanan. Selain tak mau merepotkan Daraz, aku juga enggan terjebak dalam momen hening dan canggung selama perjalanan. “Aku naik angkot di depan aja.”

“Aku punya banyak waktu luang. Ayolah.” Kali ini, Daraz menatapku dengan sepasang mata yang membuat segala pertahanan di dalam diriku roboh. Aku selalu menyebutnya tatapan Clark Kent. Ya, Daraz memang agak mirip dengan karakter Superman di serial Lois & Clark yang diperankan oleh Dean Cain itu. Tapi, setelah kemunculan Brandon Routh di film Superman Returns yang kutonton di bioskop bersama Delta dan Daraz baru-baru ini, kurasa, kemiripannya lebih kentara. Selain berkacamata, berambut belah pinggir, dan berdagu belah, wajahnya memang terlihat lebih serupa. Hanya saja, Daraz lebih kurus. “Jul...?”

“Oke....” Aku pun bergegas mengambil tas dan diktat kuliahku di kamar sebelum kembali dan duduk di samping kiri Daraz.

***

Walau badai menghadang
Ingatlah ku kan slalu setia menjagamu
Berdua kita lewati jalan yang berliku tajam....

Aku tahu, Daraz sedang menatapku saat saluran radio yang dipindahkannya berhenti di lagu itu. Namun, aku berusaha untuk tidak membalas tatapannya. Dan berusaha untuk tidak ikut hanyut dalam kenangan di balik lagu itu. Oh, sial. Ini jauh lebih mengerikan daripada momen hening dan canggung yang kukhawatirkan.

“Jul....”

Aku pun berusaha mengabaikan suaranya. Bukannya ge-er, tapi aku tahu apa yang akan diucapkan Daraz setelahnya. Dua tahun sudah berlalu setelah kejadian itu, namun segalanya seakan baru saja terjadi beberapa saat yang lalu setiap kali lagu Ada Band yang berjudul Masih (Sahabatku Kekasihku) itu terdengar. Dan ini adalah yang ketiga kalinya.

“... kamu masih nganggap aku brengsek? Dan sampai sekarang, kamu masih belum bisa maafin aku atas kejadian itu?”

Aku selalu diam dalam dua kali kesempatan Daraz menanyakannya. Hanya hatiku yang bisa menjawabnya. Jika Daraz berpikir bahwa dia brengsek karena ciuman panas yang kami lakukan di sekolah saat malam perayaan ulang tahun SMA kami itu, maka aku pun berpikir bahwa aku sama brengseknya dengan dia. Dan jika Daraz merasa bahwa aku tak bisa memaafkannya, maka aku pun masih belum tahu kapan aku bisa memaafkan diriku sendiri. Dan kurasa, tak pernah ada gunanya membahas hal itu bersamanya. Diam adalah pilihan terbaik, dan menganggap semuanya hanya mimpi buruk paling manis adalah solusi yang cukup tepat.

PetrichorWhere stories live. Discover now