Petrichor {3}

11.2K 1K 49
                                    

Tiga


Sudah hampir pukul sebelas malam. Aku belum bisa tidur karena perutku mulas. Bukan lantaran Virgin Mojito apalagi gara-gara ulah si waiters menyebalkan itu, melainkan karena aku baru mendapatkan jatah bulanan sebagai seorang perempuan. Setelah menahan diri selama berjam-jam untuk tidak meminum obat pereda mulas, akhirnya aku menyerah. Mendatangi kotak obat di dapur.

Saat hendak kembali ke kamar, aku melihat siluet seseorang di luar jendela. Dengan sedikit keberanian, aku mengintip dari balik tirai. Oh, syukurnya, orang itu adalah Alfa. Didorong rasa penasaran, aku pun menghampirinya.

“Ngapain, Al, malam-malam begini...?”

“Si Jono hilang, Kak,” jawab Alfa sambil mengarahkan lampu senter ke kandang anjing itu dan mencarinya.

“Masa, sih? Palingan dia tidur di keset depan pintu gudang, atau di keranjang cucian, kayak yang udah-udah.”

“Nggak ada, Kak.” Alfa tampak resah. “Aku udah cari dia ke mana-mana. Nggak ada. Jono hilang.” Sekarang Alfa berjalan menuju pintu pagar.

“Mau ke mana, Al?”

“Nyari si Jono.”

“Tunggu! Kakak ikut.”

Bagi Alfa, Jono itu sudah seperti sahabat atau mungkin juga saudara angkat. Lima tahun yang lalu, Alfa menemukan anak anjing kampung berambut putih dan memiliki bercak-bercak hitam di wajahnya, saat dia sedang berjalan-jalan di pematang sawah, sewaktu kami berlibur di rumah Nenek. Alfa bilang, anak anjing itu terus mengekorinya ke mana pun dia pergi. Dan Alfa langsung jatuh suka pada anjing yang saat itu juga dia beri nama Jono. Sesingkat dan sesederhana itulah pertemuan mereka. Alfa kemudian membawa Jono ke Bandung setelah memastikan bahwa anak anjing itu memang sebatang kara dan layak untuk dipelihara.

Bukan hanya Alfa, kami semua pun turut menjaga dan merawat Jono sebaik-baiknya. Tapi memang, di antara kami semua, orang yang paling menyayanginya adalah Alfa. Setiap hari, dia selalu punya waktu untuk bermain dengan Jono. Mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kompleks, atau sekadar bermain di halaman belakang rumah. Kini, usia Jono sudah semakin tua. Meski tubuhnya sudah jauh lebih besar dibanding lima tahun lalu, imunitasnya mulai melemah. Beberapa kali, Jono sempat sakit hingga dilarikan ke dokter hewan. Dan sejak dulu, masalah utama yang selalu menjadi sumber kekhawatiran kami setiap kali Jono menghilang adalah kenyataan bahwa Jono tak bisa melihat sejak dilahirkan.

“JON! JONOOO!” teriak Alfa, sambil terus mengarahkan lampu senternya ke semak-semak pinggir jalan dan selokan. “JONOOO!”

Usaha yang dilakukan Alfa bukanlah sesuatu yang sia-sia. Jika Jono mendengarnya, dia akan segera muncul atau menggonggong, supaya Alfa menghampirinya. Namun, karena ini sudah hampir pukul sebelas malam, aku mengingatkan Alfa supaya tidak berteriak terlalu kencang. Syukurnya, Alfa tidak keras kepala.

“Tadi aku pulang latihan basket sore banget dan baru nyampe rumah jam tujuhan,” curhat Alfa kepadaku sambil tetap mengamati sekitar. Nada suaranya terdengar penuh rasa penyesalan. Dan mungkin dia tidak menyadari bahwa sejak tadi, tangan kirinya yang menggenggam tali yang biasa digunakan untuk mengarahkan Jono berjalan terus menempel di dadanya. “Aku baru sempet meriksa kandang sekitar jam sepuluhan tadi karena ketiduran. Kalau sampai Jono kenapa-kenapa....”

Aku berusaha menenangkannya. Sambil menepuk-nepuk punggungnya, aku berkata, “Kita bakal menemukan Jono. Sambil terus nyari dia, kita juga harus terus berdoa, supaya Tuhan tetap jagain Jono dan membantu kita menemukannya.”

Menatapku, kemudian Alfa mengangguk. Dan kami pun terus mencari sambil memanggil-manggil nama Jono dengan suara yang tidak terlalu berisik.

Sudah lebih dari lima belas menit berlalu sejak kami keluar dari pintu pagar, Jono belum juga kami temukan. Aku hampir putus asa dan mulai memikirkan rencana untuk membuat selebaran dan menyebarkannya besok pagi. Sementara, Alfa mulai tak keruan. Aku tahu, dia ingin menangis, hanya mungkin merasa malu. Dia pun tampak marah pada dirinya sendiri dan tak tahu bagaimana harus melampiaskannya. Yang akhirnya dia lakukan hanyalah diam memendam semua perasaannya.

“Al, pulang yuk. Udah hampir tengah malam, nih.”

Alfa menggeleng.

“Kamu nyadar, nggak, kita udah jalan jauh banget? Apa mungkin, Jono nyasar sampai sejauh ini? Bisa jadi kalau kita pulang, ternyata Jono udah balik ke kandangnya....”

“Kak Juli pulang duluan aja. Biar aku cari Jono sendiri.”

Aku menghela napas dan mengaturnya sedemikian rupa. Berusaha tetap mengabaikan rasa mulas yang sejak tadi melilit-lilit perut. Bagaimana bisa aku meninggalkan Alfa seorang diri di waktu hampir tengah malam begini?! Meskipun dia seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun, bagiku, Alfa tetaplah adik kecilku yang harus kujaga dan kulindungi. Terlebih, saat ini suasana hatinya sedang sangat tertekan.

Aku baru saja hendak mengatakan bahwa Jono akan bersedih jika dia tahu tuannya sedang bersedih dan mengabaikan kesehatannya, ketika tiba-tiba Alfa berlari sambil berteriak, “JONOOO!”

Di seberang sana, tampak seekor anjing yang persis Jono sedang duduk dan memakan sesuatu di pinggir jalan, di dekat sebuah swalayan. Aku pun mengikuti Alfa yang lebih dulu tiba.

Anjing itu memang benar-benar Jono. Ciri-ciri fisik, bahkan kalungnya pun memang milik Jono. Alfa tak bisa lagi menahan-nahan perasaan saat akhirnya dia bertemu dengan Jono. Sambil mengelus-elus kepala Jono, Alfa menangis haru. Jono tampak baik-baik saja, tanpa luka di tubuhnya sedikit pun. Dan saat itu aku menyadari bahwa ada seorang lelaki di dekat Jono—yang mungkin menemukan Jono kemudian memberi makan roti dan menemaninya sejak tadi.

“Makasih banyak ya, Kak, udah jagain Jono,” ucap Alfa kepada lelaki bertubuh tinggi dan berwajah—familier itu.

“Oh, namanya Jono?” tanya lelaki itu. Suaranya pun benar-benar mirip dengan suara seseorang yang kutemui tadi sore. Si waiters yang menyebalkan itu! “Tadi, waktu gue keluar dari minimarket, anjing ini—maskud gue, Jono, keliatan mondar-mandir di sini kayak yang linglung nyari sesuatu. Terus, gue samperin. Ternyata dia nurut, dan... sorry, dia nggak bisa ngeliat, ya?” Alfa mengangguk. “Ya udah, gue beliin dia roti, dan ternyata dia suka. Dia nggak punya alergi makanan tertentu, kan?” Alfa menggeleng, dan wajahnya terlihat sangat lega.

Dan lelaki itu rupanya baru menyadari kehadiranku. Setelah berbicara kepada Alfa, dia menyapaku, “Hai, kayaknya kita pernah ketemu.” Dia berkata sambil menatapku dari ujung rambut hingga kaki. “Tapi... Mbak yang tadi gue temui di kafe itu style-nya oke, nggak kayak elo gini.”

Kalau saja aku lupa lelaki ini punya jasa menyelamatkan Jono (ya, anggap saja menyelamatkan), sudah pasti aku takkan meladeninya. Apalagi di luar jam kerjanya, dia tampak lebih songong dan terdengar belagu dengan bahasa elo-gue-nya itu. Dan pastinya, tetap menyebalkan. Di saat seperti ini, sempat-sempatnya dia menilai penampilanku—yang memang lumayan mengerikan ini. Ya maklum, beberapa saat yang lalu, aku kan sedang bersiap-siap tidur. Jadi, bisa kalian bayangkan seperti apa penampilanku sekarang. Untungnya, aku tidak memakai masker wajah dan roll rambut. Satu-satunya hal yang kusesalkan adalah... aku mengenakan daster.

“M-m-makasih, ya....” Sebenarnya, aku merasa cukup berat mengucapkannya. “Tadi, kami sempet waswas dan khawatir banget, nyari-nyari Jono ke sana kemari.”

Lelaki itu tersenyum. Sebelum dia mengatakan dan melakukan sesuatu yang menyebalkan lagi, aku buru-buru mengajak Alfa pulang. Tapi, Alfa malah mengajak dia berkenalan.

“Oh iya, aku Alfa, dan ini kakak sepupuku, Kak Juli. Rumah kami di sekitaran sini, jadi kalau kapan-kapan Kakak mau mampir, dengan senang hati kami menyambut Kakak. Sekali lagi, makasih banyak ya, Kak—”

“Januari,” jawab lelaki itu. “Tapi orang-orang biasa manggil gue Janu.”

“Oh, oke, Kak Janu. Sekali lagi, makasih banyak, ya.”

Sebelum pulang, aku menatap lelaki itu sekali lagi. Januari? Namanya benar-benar Januari? Yang benar saja! Itu pasti hanya akal-akalannya saja, kan?!

PetrichorWhere stories live. Discover now