Petrichor {9}

9.3K 811 38
                                    

Sembilan

Aku tak pernah tiba di rumah dengan perasaan bahagia seperti malam itu. Daraz mengantarku pulang, bukan lagi sebagai seorang sahabat mengantar sahabatnya, melainkan sebagai seseorang yang kuanggap spesial mengantar seseorang yang dia anggap spesial. Dan apa pun yang terjadi di antara dua orang yang saling menganggap spesial satu sama lain, akan selalu menjadi sesuatu yang spesial. Meskipun aku meminta Daraz menurunkanku di pintu gerbang kompleks dan bukannya di depan pagar rumah. Meskipun aku terpaksa berjalan kaki selama kurang lebih lima menit. Meskipun aku tahu hal seperti itu hanya dilakukan oleh sepasang pengecut. Aku tetap menganggap semua itu spesial. Dan aku mendapatkan kebahagiaan.

Saat makan malam, Bibi bertanya, dari mana saja aku sesorean itu. Aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku menghabiskan sore di rumah temanku untuk mengerjakan tugas. Seumur hidupku, berbohong adalah hal yang selalu kuhindari. Namun, malam itu menjadi satu dari beberapa pengecualian yang pernah kulakukan untuk menyelamatkan diri. Dan syukurnya, semua orang masih memercayaiku sebagai Juli yang selalu berkata jujur tanpa perlu menunjukkan bukti-bukti.

“Oh iya, Jul. Tadi Mas Panji telpon, nanyain apakah ada perubahan total biaya kuliah kamu semester ini atau tetep sama dengan semester lalu,” ujar Bibi, setelah mendengar jawabanku tadi. “Paman kamu itu berkali-kali kali nelponin kamu, tapi katanya hape kamu nggak aktif.”

Ya, aku memang sengaja mematikan ponselku selama bersama Daraz, untuk menghindari panggilan telepon dari siapa pun, terutama Delta. Dan bibirku dengan lancarnya berkata, “Maaf, Bi, tadi Juli sengaja matiin handphone biar nggak ngeganggu konsentrasi waktu ngerjain tugas.”

“Sehabis makan, kamu telpon balik atau SMS Mas Panji, ya. Supaya dia bisa langsung transfer ke rekening kampus.” Bibi meneguk air mineral di gelasnya, lalu melanjutkan setelah aku mengangguk, “Habis itu, kamu bantu Alfa nyelesein PR Matematika-nya.”

Aku menatap Alfa yang tengah menikmati makan malamnya dengan lahap. Sambil mengunyah makanan, dia bilang, “Ada tiga soal tentang Permutasi yang ngebingungin, Kak.”

“Inget ya, Jul, jangan cuma kasih tau Alfa jawabannya, tapi juga kasih tau Alfa gimana cara penyelesaiannya, biar dia ngerti.”

“Iya, Bi.”

“Oh iya, sebelum ngajarin Alfa, tolong anterin salad di kulkas buat Delta. Katanya, dia lagi males makan. Dan nanti, habis ngajarin Alfa, kamu bantuin Mbok Darmi nyetrika baju, ya. Sekalian tolong jahitin kancing batik seragamnya Alfa yang lepas.”

Aku mengangguk, lalu menghabiskan sisa makan malamku. Aku tak pernah merasa keberatan melakukan apa pun yang diperintahkan Bibi. Terkadang, aku memang lumayan kesal jika Bibi menyuruhku melakukan banyak pekerjaan secara beruntun. Tetapi, kemudian aku sadar, bahwa semua perintah itu adalah cara Bibi memberi alasan yang paling masuk akal bagiku untuk tetap tinggal di rumah itu dengan perasaan yang layak.

Segala hal yang gratis memang hanya tersedia di rumah kita sendiri. Sayangnya, aku tak pernah memilikinya.

***

Delta sedang menelepon seseorang saat aku tiba di kamarnya dengan sepiring salad buah-buahan. Wajahnya tampak kesal. “Ck. Daraz lagi di mana sih? Dari tadi handphone-nya susah dihubungi.”

Aku melihat bayangan dua orang gadis di cermin. Tampak seorang gadis berambut pendek sebatas leher dan berwajah tidak lebih cantik dari si gadis berambut panjang dan lurus hasil catokan yang sedang kesal karena ponsel kekasihnya sulit dihubungi. Si gadis berambut pendek itu kemudian memasang tampang penuh rasa simpati dan berusaha menenangkan si gadis berambut panjang. Sarat kepalsuan. Sesaat, aku ingin melemparkan piring berisi salad buah-buahan itu tepat mengenai bayangan si gadis berambut pendek. Sampai kemudian aku sadar bahwa si gadis berambut pendek yang jahat itu adalah diriku sendiri.

PetrichorOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz