Petrichor {7}

8.7K 909 31
                                    

Tujuh

“Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini, Jul,” ucap Daraz, memecah keheningan yang tercipta sejak aku tiba di dalam mobilnya. Kini, mobilnya sudah jauh berlalu dari rumah Paman Panji, dan menuju entah ke mana.

Aku menatapnya. “Maksud kamu?”

Sesaat membalas tatapanku, Daraz kembali menatap jalanan dan menjawab, “Udah waktunya kita berhenti membohongi diri masing-masing.”

“Kamu ngomong apa sih? Aku bener-bener nggak ngerti.”

Tanpa kusadari, tahu-tahu tangan kirinya sudah berhasil menggenggam tangan kananku. Sesaat, itu terasa seperti sengatan listrik yang memacu detak jantungku lebih cepat.

“Raz!” Dengan kasar, aku menepiskan genggamannya. “Kamu anggap aku ini apa? Ban serep yang cuma kamu inget dan kamu gunakan waktu ban mobil kamu pecah? Atau, permen karet yang kamu kunyah dan kamu mainkan di dalam mulut sampai rasanya pahit dan kemudian kamu buang?”

“Hei, Jul, itu kasar banget! Aku nggak mungkin nganggap kamu kayak gitu,” jawab Daraz.

“Lalu apa? Kamu udah terlalu sering nyusahin aku dengan segala permintaan dan perbuatan kamu yang seenaknya itu. Kamu selalu kayak gitu, seolah-olah aku ini cuma seseorang yang bisa kamu manfaatkan untuk semua hal yang kamu inginkan. Dan kamu pikir, aku bakal selalu patuh ngelakuin semua itu?”

“Maafin aku, Juli. Aku nggak pernah bermaksud ngelakuin semua itu. Aku cuma....”

“Apa?”

Daraz menghela napas sebelum kembali berbicara. “Aku nggak tau harus mulai dari mana. Tapi, aku coba mulai dengan pengakuan perasaanku yang sebenarnya.”

“Pengakuan perasaan....?”

Lampu merah. Daraz melambatkan laju kendaraan hingga akhirnya berhenti. Kemudian, dia melanjutkan, “Jul, kamu harus tau, kalau sejak dulu... aku cinta dan sayang sama kamu....”

Aku benar-benar sekarat. Maksudku, pengakuan itu membuat jantungku serasa berhenti berdetak dan napasku tersekat, tetapi anehnya aku masih hidup. Apakah yang dikatakan Daraz itu benar? Ataukah hanya bualan?

Ah, itu semua bohong! Aku tak boleh memercayainya begitu saja. Mana mungkin Daraz mencintai dan menyayangi perempuan sepertiku? Itu mustahil. Dan semua ini pasti hanya mimpi.

“Selama ini, aku terlalu bodoh dan pengecut untuk mengakui perasaanku yang sebenarnya. Aku nggak tau sejak kapan getaran-getaran perasaan itu ada. Setiap kali kita lagi sama-sama, aku ngerasa bahagia. Dan setiap kali kita berjauhan, aku ngerasain sesuatu yang mirip perasaan hampa. Tapi aku bingung, Jul. Sebab, berkali-kali kita saling menegaskan bahwa kita berdua cuma teman. Bahkan, kamu ngejodohin aku sama Delta, dan minta aku jadi pacarnya.”

Aku tak tahu harus berkomentar apa. Aku benar-benar masih sulit untuk memercayainya.

“Ya, kuakui, Delta itu cantik, menarik, dan aku suka sama dia. Dan kupikir, nggak ada ruginya aku jadian sama dia,” lanjut Daraz. “Tapi, bulan demi bulan berlalu, perasaanku sama dia ternyata nggak bisa lebih dari itu. Kami berduaan, kami bersentuhan, tapi hati kami nggak saling terhubungkan. Tubuhku ada di dekat Delta, tapi hati dan jiwaku enggak.”

“Jangan main-main dengan perasaan orang lain,” ucapku, dingin. “Kalau memang sejak awal kamu nggak punya perasaan apa-apa sama Delta, seharusnya kamu berterus terang, bukannya malah memanfaatkan situasi. Kamu bilang, kamu suka sama Delta karena dia cantik dan menarik, dan nggak nemuin kerugian kalau kalian jadian? Hei, itu bener-bener picik. Dan setelah apa yang kalian lewati sama-sama selama empat tahun ini, kamu bilang kalau ternyata hati dan jiwa kamu nggak terhubungkan dengan dia? Itu bener-bener... nggak bisa dipercaya. Kalau bukan brengsek, cowok kayak gitu pasti bajingan. Dan lebih buruknya lagi, tiba-tiba kamu bilang kalau kamu cinta dan sayang sama aku sejak dulu!”

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang