Petrichor {8}

8.6K 885 24
                                    

Delapan

Sesaat, aku merasa lega, ketika Daraz ternyata tidak benar-benar berhenti di depan gerbang kampusnya Delta. Aku mengancamnya, jika Daraz sampai mengatakan semua itu kepada Delta, maka aku benar-benar tidak mau lagi mengenalnya, dan hubungan kami setelah ini tidak akan berjalan seperti yang Daraz harapkan. Rupanya, ancamanku itu berhasil mengintimidasinya.

Tetapi, beberapa saat kemudian, aku dibuat deg-degan. Daraz terus mengendarai mobilnya, dan membawaku ke tempat yang sangat jauh.

“Daraz, kita mau ke mana? Jangan bilang kalau kamu mau nyulik aku!” Kata-kata itu terus kuucapkan, namun Daraz hanya tersenyum. Aku baru tahu kalau cowok pendiam seperti Daraz ternyata punya sisi yang mengerikan.

Kami melewati gerbang tol. Aku semakin waswas. Dalam hati, aku bertekad, jika saja aku punya kesempatan untuk keluar dari mobil, aku akan segera pergi tanpa berpikir dua kali. Perjalanan itu terasa lebih mendebarkan dari yang kubayangkan. Tetapi mungkin, segalanya akan berjalan lebih mengerikan jika Daraz benar-benar menunggu Delta pulang dan kami bertiga larut dalam pembicaraan tentang sebuah hubungan yang harus berakhir karena ada cinta lain yang akan dimulai.

Hal-hal yang kupikirkan mendadak berhenti di satu titik, saat mobil Daraz membawa kami ke sebuah kawasan kompleks yang terlihat cukup indah. Pohon palem berdiri di kanan-kiri, di sepanjang jalan hingga ke ujung yang tak dapat kuprediksikan. Bunga berwarna-warni yang tumbuh di beberapa bagian, serta rerumputan hijau segar melengkapkan keindahannya. Dan ada sebuah bangunan unik yang mengundang pertanyaan, namun tak sempat kuutarakan kepada Daraz. Setelah melewati itu semua, akhirnya Daraz memarkir mobilnya di sebuah area parkir yang cukup luas.

“Kamu mau nunggu di sini, atau mau ikut aku?”

“Aku mau pulang!”

Daraz tersenyum. “Ayolah. Masak udah jauh-jauh kemari malah minta pulang?”

Aku mengamati suasana sekitar. Tempat itu terlihat sangat asri dan terawat. Tumbuh-tumbuhannya, bangunan-bangunannya, hingga kondisi dan kebersihan jalanannya. “Kita... kita ada di mana?”

“Ya ampun, kamu belum pernah ke sini?” Refleks, aku menggeleng. Daraz melanjutkan, “Ini namanya Kota Baru Parahyangan. Dan sekarang, kita lagi ada di kawasan Bale Pare.”

Aku benar-benar baru mendengar nama tempat itu. “Ini... masih di Bandung, kan?!”

“Enggak. Sekarang kita udah ada di Timbuktu, mau nyusul Donald Bebek.” Kali ini Daraz tertawa. Namun aku tidak menemukan sesuatu yang lucu. “Kalau gitu, kamu harus ikut aku!” Daraz meraih sebuah map berwarna merah di kursi belakang mobilnya, lalu bersiap turun. “Ayo!”

Mau tak mau, aku pun menurutinya.

Daraz mengajakku ke kantor papanya. Tempat itu tidak terlihat seperti sebuah kantor pada umumnya. Dalam persepsiku, sebuah kantor itu akan selalu terlihat kaku dan menjemukan. Namun, tidak halnya dengan kantor papanya Daraz. Bangunan berlantai dua itu terlihat seperti sebuah galeri seni yang indah dan luas dengan nuansa perpaduan minimalis dan etnis. Daraz pernah bilang kalau papanya adalah seorang pengusaha di bidang properti. Tak heran jika selulus SMA, Daraz memilih jurusan Arsitektur. Selain karena dia merasa tertarik dan cukup mampu di bidang itu, dia pun bercita-cita untuk bermitra dengan papanya.

Daraz menyerahkan map berwarna merah itu kepada seorang perempuan di meja resepsionis yang menyambutnya dengan senyum manis. “Papa lagi sibuk?” tanyanya kepada perempuan itu.

“Bapak lagi meeting sama klien, Mas. Udah dari tadi sih. Mungkin sebentar lagi selesai. Mas Daraz mau nunggu?”

“Oh, enggak. Aku cuma mau nitip map itu aja. Tolong langsung kasih ke Papa ya, Mbak.”

PetrichorDonde viven las historias. Descúbrelo ahora