Ia menghentikan kegiatannya sejenak untuk menatap atasannya itu. "Kenapa, Mbak?" tanyanya lagi.
"Sore ini saya mau ketemu seseorang yang suka sekali strawberry."
Mia kembali membungkuk, memindai seisi etalase. Tidak lama kemudian, ia mengeluarkan sebuah red velvet cake. "Masih ada ini, Mbak. Kalau mau, saya siapkan."
"Boleh, deh, Mi. Tolong, ya."
Evelyn menikmati suasana sore dengan duduk di salah satu meja outdoor sembari menunggu taksi online pesanannya tiba. Angin yang berhembus cukup keras, menimbulkan suara getar payung yang menaungi kepalanya dan gemerisik plastik yang terletak di atas meja.
"Mau pergi, Mbak?"
Teguran itu sontak membuat Evelyn menoleh dan mendapati Deandra sedang menatapnya. Gadis itu membawa semprotan pembersih dan sebuah lap yang sepertinya baru selesai ia gunakan untuk membersihkan meja. "Iya," sahutnya dengan seulas senyum.
Ponselnya berdenting, menandakan bahwa taksinya telah sampai. Evelyn bangkit berdiri, tidak lupa membawa tas berisi kue itu bersamanya. "Saya duluan, ya."
***
Evelyn menghubungi Evita sekadar untuk memberitahunya bahwa ia sudah dalam perjalanan. Setelah ia menutup room chat dengan Evita, tatapannya jatuh pada kontak seseorang yang berada di baris paling atas---dengan tanda pin di sisi kanan---dalam daftar chatnya. Ia menekan kontak itu hingga tampillah riwayat obrolan mereka. Memperhatikan deretan bubble chat yang terkirim beberapa menit lalu.
Zevanya Evelyn
Felix
Maaf baru kasih tahu kamu.
Aku pulang dari Dreamy lebih awal. Mau mampir ke tempat Evita.
Ini lagi on the way, naik taksi online.
Hari ini cuacanya aman, kok. Jadi kamu fokus aja sama kerjaanmu, oke?
"Maaf, Bu. Sepertinya ada yang mengikuti kita," ujar sang sopir hati-hati sambil memperhatikan jalanan di belakang melalui kaca tengah.
Evelyn mengangkat pandangan. Buru-buru menyimpan ponselnya dan langsung menolehkan kepala mendengar ucapan itu. Meski berada agak jauh, matanya masih bisa menangkap keberadaan sebuah motor dengan dua pengendara. Evelyn kembali menghadap depan, saling bertukar tatap dengan pak supir, tanpa sepatah kata. Benar saja, beberapa saat berlalu, motor itu tidak kunjung melewati mobil mereka. Padahal dengan kondisi jalan yang tidak terlalu ramai, motor itu seharusnya bisa menyalip sejak tadi.
Wanita itu menghela napas pelan. Tenang, Evelyn. Kamu harus tenang. Sugestinya pada diri sendiri.
"Pak, nanti saya turun di minimarket yang terdekat dengan alamat tujuan saja."
"Tapi, Mbak... minimarket itu agak jauh dari alamat tujuan."
Firasatnya tidak enak. Lebih baik ia berjalan sedikit jauh daripada harus mengambil risiko orang asing itu mengikutinya sampai ke rumah Evita.
"Mbak yakin mau turun di sini?" tanya sang supir memastikan ketika mobil berhenti di depan minimarket.
"Iya, Pak," balas Evelyn lalu membayar ongkos taksi dan mengucapkan terima kasih. Sebelum turun, sekilas ia masih mendapati motor yang sama berhenti di kejauhan.
Ugh, selalu saja ada gangguan di saat seperti ini!
***
Evelyn menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, memperhatikan sekelilingnya penuh waspada. Tidak lagi menemukan motor yang semula menguntit taksinya. Merasa sudah aman, Evelyn melangkah meninggalkan area minimarket dengan menjinjing dua kantung plastik. Ramainya kendaraan dan orang berlalu-lalang membuat perasaannya jauh lebih ringan. Hingga akhirnya, langkah Evelyn terhenti di depan sebuah bangunan bertingkat bercat putih yang terhalang oleh pagar cukup tinggi.
Ia memeriksa alamat yang dikirimkan Evita dan nomor yang terukir pada salah satu dinding rumah secara bergantian. Benar, ini rumahnya. Evelyn baru saja hendak menekan icon telepon. Namun, gerakannya terhenti tatkala ia kembali merasakan ada seseorang yang mengawasinya. Ia lebih dulu mengamankan barang bawaannya, memasang kuda-kuda, bersiap menghajar siapa pun yang sedang mengikutinya.
Ketika merasakan orang itu kian mendekat, Evelyn dengan cepat melayangkan tendangan berputar. Pria bertubuh tinggi tegap dengan seragam cokelat muda mundur beberapa langkah, dengan gesit menghindari serangannya. Rautnya tampak kaget ketika melihat Evelyn.
"Tenang, Nona. Saya sama sekali tidak berniat buruk," ujar pria itu. "Maaf jika saya membuat anda terkejut. Saya Tio, petugas keamanan di rumah ini. Ada perlu apa Nona datang kemari?"
Penjelasan Pak Tio membuat Evelyn kaget bukan main. "Maaf, Pak. Saya kira ada penguntit, jadi refleks... sekali lagi, saya minta maaf."
"Baiklah, Nona. Tidak masalah. Jadi, ada perlu apa Nona datang kemari?" Pak Tio mengulang pertanyaannya.
"Saya ingin bertemu Evita, Pak."
"Maaf, ini pertama kalinya saya melihat Nona. Apa anda kerabat..."
"Dia Evelyn, saudara kembar saya." Itu bukan suara Evelyn. Melainkan Evita, yang entah sejak kapan berdiri di pintu gerbang, menyambut Evelyn dengan senyum merekah di wajahnya.
***
YOU ARE READING
The Red String of Fate
RomanceSejak kedua orang tuanya meninggal karena tragedi yang menimpa keluarganya, Evelyn yang saat itu masih berusia lima belas tahun, dirawat oleh sahabat mendiang kedua orang tuanya. Hidupnya yang semula hancur, perlahan mulai pulih. Ia dapat bangkit da...
31. Signal
Start from the beginning
