"Papa lega sekali" ucap Fahri. "Enggak ada yang Papa inginkan selain melihat kamu sadar Ri"

Selagi mereka sibuk dengan Ari, Ata mengambil sebotol besar air dan empat gelas plastik. Di aturnya dua buah bangku kecil pada sisi kanan Ari. Ia sendiri duduk di ujung tempat tidur Ari.

"Iya, kamu masih dalam pengawasan. Jika keadaan kamu membaik kamu diperbolehkan pulang minggu depan" kata Fahri.

"Papa duduk di sebelah sini ya Pa" pinta Ata. Tanpa curiga Fahri duduk di kursi yang telah ia sediakan. "Mama juga" Dan Aninda melakukan hal yang Ata pinta.

"Pa, Ma, sembilan tahun ini sudah cukup lama kita berpisah. Aku rasa itu sudah cukup memberikan kalian waktu untuk melakukan persiapan. Persiapan untuk kejujuran tentang aku, tentang Ari, tentang Ibu kandung kami"

Aninda tercekat. Fahri mematung. Mereka tahu akan tiba hari ini. Hari dimana mereka harus mengungkapkan apa yang selama ini bersembunyi. Mereka saling tatap, seperti mempunyai pemikiran yang sama. Lalu Aninda mengangguk pelan diikuti dengan Fahri.

"Kami sudah siap Pa, Ma. Kami siap mendengar semuanya" kata Ari.

****

Tari terbangun di tengah siang bolong. Suara dangdut keliling yang 'konser' tepat di depan rumahnya membuat pekak kedua telinga. Salah satu di antaranya mengeluarkan topi dan mulai berkunjung dari rumah ke rumah. Dengan mata setengah terbuka, ia memberikan selembar uang saat salah satu dari mereka menghampiri rumahnya.

Konser dangdut portable itu ganti lagu kedua. Suara serak dan bas vokalis cowok menggantikan sang  wanita yang kini berada di depan warung makan. Ia berteduh dari sinar matahari yang panas menyengat, duduk sambil menyeruput teh dingin di tangan. Embun-embun yang ada di permukaan gelas membuat ke tiga personel lainnya nggak konsen!

Air liur mereka bertambah drastis setiap kali wanita itu menyesap teh dinginnya. Kerongkongan mereka keringgg kerontangg. Tak mengherankan menjelang reff ke dua mereka langsung memutuskan bergabung di warung makan. Suasana yang tadinya ingar bingar mendadak hening seketika.

Namun ternyata konser itu tak benar-benar menghilang bagi Tari. Setelah gerobak dangdut itu pergi, ia baru menyadari siapa yang berdiri di baliknya. Berdiri di atas motor dengan kedua mata yang tertuju pada rumahnya. Ia telah mendapatkan konsernya sendiri dalam bentuk hentakkan di jantungnya. Benda itu seakan ingin meledak saat ia melihat seseorang itu turun dari motor dan berjalan mendekati rumahnya: Angga.

Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jarak Angga dengan gerbang rumahnya hanya tinggal beberapa langkah. Dalam waktu yang sesingkat itu hatinya tak henti bertanya. Tentang apakah ia harus menerima cowok ini di rumahnya. Tentang apakah cowok ini akan menyelamatkannya dari putaran badai atau malah sebaliknya. Dan yang paling terpenting lagi tentang apakah perasaan itu masih ada untuknya atau tidak.

Tentu saja, bahkan Tari belum sempat memikirkan jawabannya Angga telah tiba di depan gerbang. Ia menghampirinya.

"Hai Tar" Angga tersenyum menunjukan giginya yang bersih.

"Ha, hai Ngga" jawab Tari kaku.

"Boleh gue masuk?"

"Iya, boleh"

Angga duduk di bangku rotan warna putih pucat di teras rumah Tari. Cuaca sangat panas, es teh yang dihidangkan Tari serasa minuman paling jempolan sedunia.

"Wih, haus banget kayaknya"

Angga telah memindahkan setengah isi gelas ke dalam perutnya. "Iya Tar, es teh buatan lo enak banget. Udah gitu dari tadi tenggorokan gue emang kering kerontang" Angga meringis.

Jingga Untuk MatahariWhere stories live. Discover now