Pertama Merantau

108 0 0
                                    

Hari itu, di sebuah pelabuhan. Kusaksikan banyak air mata yang berjatuhan mengiringi kepergianku. Dari atas kapal kumemandang kebawah dermaga, berdiri sosok-sosok istimewa, mereka bapak mama dan juga adikku yang mungkin ingin melihatku untuk terakhir kalinya. Air mata mereka yang tidak hentinya turun disela kedua matanya, air mata yang memperlihatkan ketidakrelaan melepasku pergi.

Aku mencoba berusaha tegar untuk tidak meneteskan air mata, padahal dari dalam hatiku ada semacam benda kecil yang mengiris-iris hatiku ketika melihat mereka menangis. Saat itu adalah kali keduanya aku pergi jauh dari tanah lahirku, pertama waktu aku masih SMP, aku dikirim untuk mengkuti perkemahan tingkat nasional mewakili Daerahku di Palembang. Tapi, saat itu aku masih tidak terlalu tahu apa-apa tentang merantau, dan manurutku perkemahan itu bukan perantauan.

Malam sebelum keberangkatanku, puluhan kata-kata motivasi dan pesan-pesan moral yang diberikan oleh bapak, mama dan keluarga tidak ada henti-hentinya. Malam itu sangat ramai, bahkan yang datang bukan saja keluargaku, beberapa orang didesa juga teman-temanku berdatangan untuk memberikan kata-kata dan pesan buatku yang esoknya akan pergi merantau.

Tamu yang berdatangan tidak hentin-hentinya sampai sekitar jam 10 malam, aku baru tidur jam 11 malam lewat. Kalian tahu bagaimana aku tidur dimalam terakhirku dikampung? Aku diapit oleh bapak dan mama, dari awal tidur sampai esoknya aku terbangun, pelukan mereka masih seperti kemarin. Pelukan itu membuatku beranggapan, mereka begitu sulit melepasku pergi. Rasanya, mereka selalu ingin bersama denganku, begitupun denganku. Sebenarnya, berat bagiku untuk pergi. Tapi panggilan masa depan membuatku harus bangkit dan berusaha menepis semua rasa itu. kelak jika yang dicita-citakan sudah tercapai, aku bisa kembali bersemai rindu dengan mereka.

Setelah aku bangun keesokanya itu, badanku demam. Tubuhku terasa panas dingin, bapak lebih-lebih mama mulai kepanikan terhadap kondisiku. Padahal sebentar sore aku sudah harus berangkat. Sampai waktu keberangkatan menuju pelabuhan, mama tidak pernah melepaskan pelukanya terhapku. Aku hanya bisa menangis saat itu, aku menyadari betapa besar rasa kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.

Sampai dipelabuhan, lagi-lagi mama selalu berada didekatku, memelukku untuk terakhir kalinya. Saat kumelangkahkan kakiku menuju kapal, kuraskan tanganya masih menggenggam erat tangaku. Aku tahu hatinya pasti sangat sedih saat itu, seorang anak laki-laki satu-satunya harus pergi meninggalkannya. Dari situ aku mendapatkan pelajaran hidup, bahwa "Kesuksesan itu tidak ada yang didapatkan dengan mudah. Didalamnya kita harus merelakan waktu, tenaga, dan air mata untuk meraihnya."

Dari atas kapal, aku bisa dengan mudah melihat mereka yang berada diantara ratusan orang dipelabuhan itu. sementara dibawah sana, mereka sangat kesulitan mencari celah diantara badan orang-orang disitu untuk sekedar bisa melihatku.

Suara terompet kapal sudah dua kali berbunyi, tinggal satu kali ia akan berbunyi tiga kali, itu artinya kapal akan bergerak pergi.

Panas matahari tidak mereka hiraukan, mereka masih saja berdiri dibawah sana. Bahkan karena terlalu berkilaunya cahaya matahari, mereka mengangkat tanganya untuk mengahlau kilaunya cahaya itu. ingin rasanya saat itu aku kembali turun untuk memeluk mereka, tapi tangga kapal sudah diangkat. Dari dalam hati, aku menangis dan berteriak sekencang-kencangnya, bahkan teriakan itu hampir meledak keluar dari mulutku, tapi masih mampu kutahan.

Bapak yang kulihat saat itu juga tidak kalah dengan mama, dia memasukkan lalu mengeluarkan sapu tangannya dari dalam sakunya untuk melap air matanya. Dialah guru kehidupanku, ketika aku salah dia tidak segan-segan memukulku. Aku tahu pukulan dan bentakan itu bukan karena amarahnya, melainkan karena besarnya rasa sayangnya terhadapku, dia menginginkan aku menjadi anak yang baik dan bijak.

Sementara adikku, dia yang sering ku ganggu. Dia mungkin merasa tidak akan ada lagi seorang kakak yang menggangunya, mencubitnya, membentaknya.

Suara terompet kapal berbunyi tiga kali, baling-baling kapal mulai berputar, lalu mendorong kapal yang kutumpangi itu. semua tangan dibawah dermaga mulai diangkat, memberikan lambainya. Bapak, mama, dan adikuu juga. Saat-saat itulah air mataku tumpah dengan begitu derasnya, rasanya semua air yang ada didalam tubuhku semua keluar menjadi air mata.

Ketika kapal mulai menjauh, aku masih bisa melihat, mama berpelukan ke badan bapak, begitupun bapak sebaliknya memeluk mama, juga adiku berada ditengah keduanya.

Rasanya semua tetang mereka dan kenangan bersama mereka seakan kembali muncul dalam ingatanku. Aku pasti akan merindukan kenangan-kenangan itu. Aku pasti kembali, aku pasti pulang. Bersabarlah, aku akan pulang setelah bisa mencipta senyum bangga di bibir kalian.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CERPEN-CERPENWhere stories live. Discover now