Jatuh Yang Salah

168 0 0
                                    

(Cerita Lama, Baru di Upload)

Pagi itu, dingin melebihi biasanya. Saya berjalan menusuri jalan kecil menuju kampus. Jalan itu, selain karena jaraknya paling dekat dari pada jalan-jalan yang lainya, dijalan itu saya bisa melewati kos-kosanya Rani.

Awalnya saya menganggap dingin saat itu biasa-biasa saja, dan aku baru tahu makna dingin itu ketika berada didepan kotrakanya Rani. Saya kaget bukan main, Rani keluar dari pagarnya, sepertinya dia juga akan menuju kampus.

Kebetulan kampus ku dengan kampusnya satu tenpat, hanya beda fakultas.

Saya merasa gugup, haruskah saya menegurnya.? Apakah saya cukup berani untuk menegur orang yang ku kagumi semenjak semester 2 ini?

Dia jalan lebih dulu, dan saya memeprhatikannya dari belakang. Sebenarnya jika tadi saya mengayunkan kaki lebih cepat lagi, mungkin saya akan mendahuluinya. Tapi aku pikir biarkan dia berjlaan lebih dulu, supaya saya bisa memperhatikanya dari belakang.

Beberapa menit diperjalanan, saya sudah mulai bisa menghafal gerak geriknya. Bagaimana cara dia jalan, memperbaiki jilbanya, memeprbaiki tasnya, sesekali menengok hpnya.

Ya Tuhan, mimpi apa saya tadi malam hari ini saya bisa jalan dengan pengagumku? Walaupun tidak berdampingan, setidaknya ini lebih baik sebagai permulaan.

Saya pikir ini kesempatan yang sangat besar untukku bisa mendekatinya, hitung-hitung sok kenal.

Saya mencoba menggerakan langkahku lebih cepat.

Saya pura-pura bertingkah layaknya seperti orang yang belum pernah ketemu dia.

"Hy" sapaku setelah sedikt lebih dekat dari dia.

"iya?" Dia membalikkan badanya, lalu tersenyum

"Kok saya baru lihat lewat sinin?"

"Iya kak, malas bawa motor ke kampus. Lebih baik jalan, hitung-hitung olahraga" jawanya sambl melirikku.

Aku percepat lankah kakiku, sampai akhirnya saya benar-benat sejajar dengan dia.

"iya juga sih, untung saya setiap harinya jalan kaki." Jawabku sambil menggaruk-garuk kepala tersipu malu karena bahagia bisa ngobrol dengan Rani.

Saya lihat dia tersenyum mendengar pernyataan saya.

Kami terus berjlaan, tidak terasa gerbang kampus sudah terlihat, pertanda pembicaraan kami akan segera berakhir.

Sayapun memberanikan diri untuk berkenalan walaupun sebenarnya saya sudah tahu namanya. Tapi yang saya harapkan dia juga tahu namaku.

Saya merasa benar-benar bahagia hari ini, tidak saya sangka dia benar-benar terbuka orangnya.

Selama ini sejauh yang saya amati, dia tidak sembarang berbicara dengan orang lain.

Dari arah depan gerbang sana saya perhatikan ada seorang laki-laki yang melambaikan tangan kea rah kami.

Saya merasa terheran-heran, "siapa dia?" tanyaku.

Sekejap hening, tidak ada jawaban dari dia. Sementara saya melebarkan dan membesarkan telingaku mananti jawbanya.

"Dia pacarku" jawab dia memecah henning.

Mendengar jawaban itu hilang seluruh semangat saya ke kampus, rasanya saya ingin lari menjauh sekarang juga, tapi saya tidak mau Rani curiga dengan saya.

Saya mulai memperlambat langkah kakiku. "Kok jalanya jadi pelan?" Tanyanya saat tahu saya memperlambat gerak langkahku.

"Ehh,, tidak apa-apa Rani, kan sebentar lagi kita berpisah. Ini jalan ke kampusku. Saya duluan ya, bay" jawbanya sambil kembali mempercepat langkahku lalu belok kiri menuju fakultasku.

Sesekali saya menengok kebelakang berharap Rani cepat hilang dari tempat itu supaya saya bisa lari sekencang-kencangnya.

Hilang semua semangat dan kegmbiraanku. Rasanya tidak rela jika Rani harus dengan orang lain. Dia harus bersamaku, tidak boleh tidak.

Tapi mau bagaimana lagi, berbicara perasan, berbicara kebebasan seseorang, jadi kita tidak berhak memaksa orang dalam hal perasaan.

Sekali lagi saya menengok kebelakang untuk memastikan Rani sudah masuk kedalm gerbang, dan ternyata diasudah masuk.

CERPEN-CERPENWhere stories live. Discover now