Tidak Ada Demokrasi Untuk Mahasiswa

141 1 0
                                    

Katakata tidak bisa diredam, bahkan ketika mulut dibungkampun dia tetap mampu berbicara.

Ketika mulut dibungkam, pena menjadi mulut kedua yang meneriakan kata-kata tentang ketidak adilan.

Semua berawal dari beberapa bulan yang lalu, saya menulis salah satu tulisan yang bisa dibilang keras dan terang-terangan dalam mengkritik birokrasi kampus.

Tulisan itu sengaja saya tulis pada bagian nama pengarangnya degan nama samaran, supaya pihak birokkrasi tidak menemukan keberadaan saya.

Tulisan itu langsung viral dan tersebar di seluruh fakultas, jurusan, dan prodi. Tulisan itu memuncakkan semangat mahasiswa untuk kembali melakaukan demonstras menuntut kebijakan birokrasi yang dirasa memberatkan mahasiswa.

Karena merasa tersinggung dengan apa yang saya tulis dalam tulisan itu, pihak birokrasi mencoba mencari siapa dibalik nama samaran itu, menurut informasi yang saya dapat, mereka melakukan pemaksaan terhadap teman-teman Pers kampus untuk mengungkapkan siapa penulis tulisan itu.

Secara hukum, pihak birokrasi sebenarnya telah melanggar undang-undang pers. Dimana pers harus merahasiakan sumber dimana dia mendapatkan informasi dan tulisan, mereka harus merahasiakan bahkan kepada presiden sekalipun.

Teman-teman pers mahasiswa yang diancam dengan nilai eror dan dikeluarkan dari kampus terpaksa memberitahu siapa dibalik nama Adam itu.

Hari seninnya, saya kaget mendengar saya dipanggil oleh pihak birokrasi fakultas. Saya yakin itu atas perintah pihak birokrasi universitas yang tidak menerima saya lecehkan didalam bentuk tulisan itu.

Saya sendiri tidak suka melakukan kritik terbuka selayaknya langsung di depan umum seperti melakukan pendemonstraian. Saya lebih suka berada dibelakang layar, menyuarakan dan memberikan konsep untuk teman-teman sebagai garda terdepan yang menjalankan kritikan itu dalam bentuk protes langsung di depan umum.

Sepintas terlintas dalam pikiran saya untuk melaporkan pihak birokrasi karena melanggar hokum tentang pers, melakukan pemaksaan untuk mengetahui sumber tulisan dan informasi. Tapi saya pikir pikir kembali, saya pasti akan dikeluarkan secara tidak terhormat dikampus jika saya melakukanhal itu.

Sebelum saya ke ruang birokrasi kampus, saya menuju ke ruangan himpunan jurusan untuk melaporkan kejadian yang menimpa saya. Tujuan saya kesana, berharap teman-teman bisa membantu saya nanti berhadapan dengan pihak birokrasi.

Saya juga ingin mengajak ketua bem fakultas untuk menamani saya, karena saya merasa saya akan dikeluarkan dari kampus jika saya kalah debat nantinya. Saya naik ke lantai 3 menuju ruangan bem fakultas, saya tidak menemukan ketua disana. Untungnya pas saya menuruni tangga menuju lataai 2 saya berpasan dengan dia, lalu saya ceritakan maslah saya, lalu mengajak dia ikut dengan saya. Segera dia menelpon ketua maperwa fakultas tenik untuk ikutjuga dalam panggilan ini. untungnya ketua maperwa sedang dikampus dan dia berada dilantai satu.

Akhirnya dengan didamping oleh ketua himpunan, ketua bem, dan ketua maperwa fakultas, saya menuju ke ruang pertemuan. Saya merasa akan terjadi perdebatan yang alot nantinya.

Sepanjang jalan menuju kesana saya mempersiapkan bahasa-bahasa apa yang harus saya ungkapkan nantinya.

Keringat mulai bercucuran dibadanku, takut nantinya jikka saya harus dikeluarkan.Pikiran saya kacau balau, sampai pada kedua orang tuaku. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kecewanya kedua orang tuaku mendengar tentang saya yang dikeluarkan dari kampus. Saya mulai meneteskan air mata membayangkan bagaimana kecewanya orang-orang yang membanggakan saya selama ini, lebih-lebih orang tua dan keluarga dekat dan kawan-kawan saya.

Dan akhirnya saya berada pas didepan pintu ruangan dimana saya disuruh menghadap. Saya pikir bahwa negeri ini begitu menyedihkan, kebebasan menyampaikan pendapat didepan umum sbenarnya sudah menajdi hak setiap bangsa Indonesia. Tapi ini malah dikekang, seakan aturan itu tidak ada.

CERPEN-CERPENWhere stories live. Discover now