"Hahaha....tapi gue setuju kok, Mis Kezeeya memang cantik dan mengagumkan banget. Kharismanya itu loh, sulit dijabarkan kayak rumus fisika. Bukan lo doang kok yang dibikin ngiler, gue perhatiin hampir semua yang ada di ruangan ini pada menunjukan ekspresi yang sama kayak lo. Apalagi pas dia bilang, dia udah menyandang gelar spesialis di usia semuda itu."

Aku hanya diam menanggapinya. Aku bahkan tidak mendengar bagian itu, sepertinya aku benar-benar tidak fokus tadi.

"Udahlah, enggak usah dibahas lagi, kasian nanti Miss Kezeeya batuk-batuk, mending kita ke kantin yuk?" Ajak Renata kemudian bangkit dari tempat duduknya.

Aku mengangguk, lalu kami pun keluar kelas menuju kantin. Kami memutuskan turun lewat tangga. Beberapa kali Renata menarikku agar tidak terdorong oleh mahasiswa lain karena kondisi tangga saat ini cukup ramai. Maklum saja, kelas kami tadi adalah kelas gabungan.

Bruk, gedebug, bug...

Aku melotot kaget, begitu juga Renata. Karena seorang laki-laki baru saja mendarat di lantai dasar setelah menuruni tangga dengan cara yang agak berbeda, ya dia bergelinding. Semua orang disitu sampai menatap ngeri melihat pelipisnya berdarah karena sobek.

"Lo berdarah...!" Kataku sambil menekan pelipisnya dengan sapu tanganku.

Yap, saat ini aku sudah berjongkok di depan laki-laki itu, karena kulihat dia meringis sakit dan wajahnya memerah. Mungkin dia malu jadi bahan perhatian.

"Gue kepeleset!"

"Iya, gue tau. Nggak mungkin lo sengaja gelinding ke bawah. Lo kan nggak lagi main benteng Takeshi."

Dia tersenyum, "makasih..."

Renata mendekatiku dengan ekspresi kaget luar biasa. Matanya tidak berhenti menatapku seolah bertanya sejak kapan lo punya ilmu berpindah tempat secepat itu?

Aku hanya tersenyum membalas tatapannya. Lalu aku mengedipkan mata seolah memberi kode padanya agar dia membubarkan beberapa mahasiswa yang hanya menonton kami tanpa berbuat apapun.

"Heran deh sama orang Indonesia, pinternya komentar sama ngetawain orang doang, nggak gece!" Ketus Renata.

"Nggak pa-pa, makasih ya kalian berdua nolongin gue." Ucap laki-laki itu.

"Sama-sama..." ucapku dan Renata bersamaan.

"Yuk, bangun. Mau sampai kapan lo duduk di situ." Kataku sambil membantu dia berdiri. Sedangkan Renata membantu memungut barang laki-laki itu.

Laki-laki itu bangkit dengan kekuatannya sendiri meski aku sudah menawarkan bantuan untuk membantunya berdiri. Aku menatapnya, sepertinya dia masih agak grogi dan malu pada kami. Namun seseorang yang lewat di belakangnya berhasil mengalihkan duniaku.

"Miss Kezeeya." Gumamku dalam hati.

Dia lewat di depan kami dan mata kami sempat bertemu selama beberapa detik namun dia memutuskan kontak mata dengan cepat. Kok gue kecewa sih?

"Lihat tuh, bahkan yang lo kagum-kagumkan cuek banget, padahal tadi dia sempet ngelirik kita loh!"
Ucap Renata membuyarkan lamunanku.

"Hah?"

"Enggak pa-pa! Oh ya kenalin gue Leo." Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Renata lalu padaku.

"Renata Calista"

"Nadira Shalena"

"Makasih banyak ya... Kalian." Kata laki-laki itu sambil tersenyum.

"Iya, sama-sama." Ucap Renata.

"Pelipis lo masih berdarah, yuk gue anter lo ke klinik." Tawarku pada Leo.

"Eh, nggak usah. Gue bisa sendiri kok!"

"Udah nggak pa-pa, yuk!" Ucap Renata memaksa.

Akhirnya kami mengantar Leo menuju klinik kampus, namun perjalanan kami terhenti, karena seorang petugas klinik tiba-tiba menghampiri kami.

"Kamu mahasiswa yang tergelincir di tangga?" Tanya petugas itu pada Leo.

Dia mengangguk bingung, begitu juga aku dan Renata, kami saling menatap bingung.

"Yuk, ikut saya. Pelipis kamu harus dicheck dan diobati. Saya khawatir harus dijahit."

Leo hanya mengangguk kikuk. Lalu matanya menatap kami, seolah bertanya dan meminta penjelasan. Aku hanya mengendikkan bahu.

"Kalian tidak perlu menemani, biar saya yang urus dia." Sambung petugas itu, namun kali ini kalimat itu ditujukan untukku dan Renata.

Aku dan Renata mengangguk patuh dalam kebingungan. Apakah petugas klinik kampus selalu setanggap itu?

"Re?"

"Hmmmm...?"

"Nggak jadi deh...." Ucapku ragu.

"Kenapa? Lo bingung ya? Gue juga!" Kata Renata seolah membaca pikiranku.

Aku menatapnya sambil mengangguk.

"Dir, kita jadi makan?" Sambung Renata.

"Gue udah nggak laper!"

"Oh ya udah, balik aja deh. Gue juga udah nggak laper, gue mau tidur!"

Aku kembali mengangguk, entah sudah berapa kali aku mengangguk di chapter ini, authornya pelit dialog sekali.

Aku dan Renata berpisah di depan gerbang kampus. Karena rumahnya tidak jauh dari kampus, biasanya dia pulang dengan berjalan kaki sedangkan aku memutuskan memesan ojek online karena jarak dari kampus ke Gedung Guest cukup jauh.

Selama perjalanan entah kenapa sikap Mis Kezeeya mengusik pikiranku. Kenapa gue kecewa sama sikapnya? Kenapa dia bersikap nggak peduli? Huh...

Aku sangat yakin dia melihatku saat aku membantu Leo berdiri. Setidaknya dia bisa berbasa-basi setelah melihat kondisi Leo yang cukup mengenaskan karena darah yang terus mengucur dari pelipisnya. Aku tidak habis pikir dia akan melewatiku begitu saja tanpa membantu. Huh...

Sudahlah aku cukup lelah hari ini, mungkin karena kondisi tubuhku yang belum benar-benar pulih. Aku juga tidak mau terus-menerus memikirkan wanita itu. Dia mudah sekali membolak-balikan perasaanku dalam sekejap. Perasaan senang dan kagum itu kini bertempur dengan rasa kecewaku. Jika sudah seperti ini biasanya aku akan mengalihkan pikiranku dengan hal lain. Jadi kuputuskan untuk bersih-bersih kamar dan kutata ulang kamar ini agar lebih layak untuk ditinggali.

***

Kulirik jam di meja kecilku, saat ini sudah pukul 10 malam. Aku terbangun karena haus. Kuteguk habis air dalam gelas yang kutaruh di nakasku. Lalu kembali memposisikan tubuhku dengan nyaman agar bisa kembali tidur. Ah, rasanya tubuhku benar-benar lelah setelah bebenah sore tadi.

Ceklak....

Mataku kembali terbuka saat kudengar suara pintu kamarku terbuka, jantungku berdegup kencang, ada maling kah? Ucapku dalam hati.

Dengan cepat aku bangkit dan menyambar kamus kosa kata bahasa inggris 100 Milyar di rak pembatas. Kugenggam erat kamus itu layaknya senjata pelindung diri. Setidaknya aku merasa aman karena kamus itu cukup tebal dan keras untuk memukul orang sampai pingsan.

Kondisi kamar yang benar-benar gelap membuatku semakin gugup. Tanganku gemetar dan nafasku tak karuan. Namun cahaya yang berpendar cukup terang membantuku melihat seseorang masuk sambil mengendap-endap setelah menutup pintu kamarku dengan perlahan. Syukurlah cahaya dari ponsel orang itu membantuku mengetahui posisinya. Tanpa menyia-nyiakan waktu kulayangkan pukulan ke arahnya beberapa kali sampai dia berteriak.

"Stop! Arrgg... Arghhhh!"

Tubuhku tersentak ketika suara itu menyapa telingaku. Spontan kunyalakan lampu kamar, hingga bayangan seseorang yang ada dalam pikiranku menjadi nyata. Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak menatap wajah itu, wajah wanita yang kini terduduk di lantai dengan darah di pelipisnya.

"Miss Kezeeya!" Lirihku.

She is Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang