13. Sikap Lembut

1.2K 241 9
                                    

🍁🍂🍂🍁

So Hyeon sudah masuk ke dalam rumah, sementara Ji Sung menunggu di depan gerbang. Setelah mengembalikan kunci mobil, Arnand bergegas menghampiri Jisung. Ditatapnya mobil yang menunggunya itu. Sejenak, ia menghela napas sembari berpikir apakah keputusannya ini benar atau salah.

Hyung!” panggil Ji Sung karena melihat Arnand masih berdiri.

Arnand tersentak, ia lantas berlari kecil. “Maaf, ya,” ucapnya, masuk ke dalam mobil.

“Sedang memikirkan apa, Hyung?” tanya Ji Sung. “Apa Hyung merindukan Indonesia?”

Hanya sekilas senyuman jawaban dari Arnand.

Karena tidak mendapat jawaban yang jelas, Jisung mengedik. Ia kemudian menyalakan mesin mobil dan mutar arah. Dalam perjalanan pulang tadi, So Hyeon sudah menunjukkan di mana Arnand tingggal. Jadi, Ji Sung langsung bergegas ke rumah yang dimaksud.

“Kita sudah sampai,” kata Ji Sung setelah sampai di rumah yang dituju.

Arnand kembali tersenyum tipis. Ia lalu turun dari mobil untuk membukakan pintu pagar. Begitu pintu pagar dibuka, mobil Ji Sung pun masuk dan berhenti tepat di depan pintu.

Hyung, apa Hera Ahjumma hanya tinggal berdua dengan  Heru Ahjussi?” tanya Ji Sung setelah turun dari mobil. Di tangannya ia memegang sebuah kotak.

“Iya. Mereka cuma tinggal berdua. Ditambah aku, jadi tiga.” Tatapan Arnand tertuju pada kotak di tangan Ji Sung. “Apa itu?”

“Ini?” Ji Sung mengangkat kotak yang dibawanya. “Ini kue, Hyung. Sebenarnya, ini contoh kue yang akan So Hyeon dan Ati Ahjumma buat. Tapi, karena akan ke rumah Hyung, kubawa saja ke sini.”

Karena khawatir kemalaman, Ji Sung memutuskan untuk menuliskan resep yang seharusnya ia ajarkan langsung pada mamanya So Hyeon. Ia akan kembali ke rumah gadis itu nanti setelah mengajari Arnand. Sebenarnya, ia membawa contoh kue yang akan dibuat So Hyeon dan mamanya. Tetapi, Ji Sung memutuskan untuk membawanya ke rumah Hera.

“Assalamu’alaikum!” Arnand mengetuk pintu.

“Wa’alaikumsalam!” Langsung terdengar sahutan dari dalam rumah. Kemudian, pintu dibuka oleh Hera. “Tante sudah menunggumu, Nand.”

Seperti dugaan Arnand, Hera sedang menunggunya. Karena itu, Hera begitu cepat membalas salam dan membukakan pintu.

“Kamu bawa teman, Nand?” tanya Hera setelah menyadari ada pemuda lain di samping keponakannya.

Ji Sung langsung mengulurkan tangan. “Nama saya Hwang Ji Sung,” kata Ji Sung sembari bersalaman dengan Hera.

“Orang Korea asli?”

“Iya, Ahjumma.”

“Bisa bahasa Indonesia?”

Ji Sung mengangguk. “Saya teman kuliahnya So Hyeon. Dan, saya belajar bahasa Indonesia dari dia.”

“Oh, teman kuliah So Hyeon. Ayo masuk.”

Ahjumma, ini ada sedikit kue. Buatan saya sendiri.”

“Hah? Buatan sendiri?”

“Ji Sung ini punya toko kue seperti So Hyeon, Tante. So Hyeon banyak belajar resep kue dari Ji Sung.” Arnand menjelaskan.

Hera pun mengangguk.

“Oh ya, kalian duduk saja. Tante buatkan minum dulu.”

“Tidak perlu, Ahjumma. Nanti merepotkan. Lagi pula, kami harus buru-buru kembali ke rumah So Hyeon,” kata Ji Sung.

“Kenapa?”

Ji Sung tersenyum. “Saya harus mengecek kue buatan Ati Ahjumma. Sudah sesuai resep atau belum.”

Ji Sung kemudian merangkul Arnand. “Hyung, ayo kita salat dulu. Lalu, kita mulai belajar.”

“Belajar?” Hera hendak bertanya apa maksud Ji Sung dengan belajar. Namun,ia mengurungkan niatnya itu karena Arnand dan Ji Sung telanjur pergi. Meski Ji Sung menolak untuk dibuatkan minum, Hera tetap berinisiatif membuatkan Teh untuk keduanya.

Hera mengembuskan napas lega. Setelah melihat Ji Sung, ia yakin kalau Arnand bisa memilih teman yang baik. Ia tidak perlu khawatir Arnand bertemu dengan teman yang akan semakin menariknya ke jalan maksiat di Korea.

Setelah teh yang dibuat selesai, Hera kemudian mengantarnya ke kamar Arnand. Bola matanya lantas berkaca-kaca ketika melihat Arnand dan Ji Sung sedang salat. Buru-buru diletakkannya teh beserta nampannya di atas tempat tidur, lalu keluar kamar.

Begitu pintu kamar ditutup, ia lantas bersandar ke dinding. Air mata yang tidak bisa dibendung lagi, mengalir membasahi pipi. “Mur, Arnand sudah berubah. Anakmu sudah berubah, Mur. Sekarang, kamu tidak perlu khawatir. Anakmu, Arnand, sudah berubah,” ucapnya pelan, seolah yang diajak bicara ada di depannya.

“Hera, kamu kenapa? Arnand buat masalah lagi?” Heru yang melihat istrinya menangis, langsung tersulut emosi.

Khawatir suara suaminya terdengar, Hera menarik tangan Heru agar menjauh dari kamar Arnand. “Kapan pulang, Mas? Kok tidak ngucapin salam?”

“Aku ngucapin salam. Kamu saja yang tidak dengar. Ya, bagaimana kamu dengar? Kamu lagi nangis di pintu anak kurang ajar itu.” Heru menarik napas, berusaha mengendalikan amarahnya. “Dia buat masalah apa lagi, sih?”

Air mata Hera kembali jatuh. “Bukan masalah, Mas. Aku menangis karena melihat Arnand salat.”

“Arnand salat?” ucap Heru tidak percaya. “Kamu lagi mimpi, ya?”

“Tidak, Mas. Arnand beneran salat. Dia sama temannya salat di kamar.”

“Temannya? Temannya yang mabuk kemarin?”

Hera menggeleng. “Tidak. Namanya Hwang Ji Sung. Orang Korea asli. Ji Sung ini temannya So Hyeon di kampus.”

“Temannya So Hyeon?”

Sebelum sempat Hera menjawab, suara Arnand terdengar dari arah kamar. Bukan sedang mengobrol, melainkan sedang melantunkan surah Al-Fatihah. Dilanjutkan dengan surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas.

Setelah mendengar lantunan surah-surah pendek dari arah kamar, Heru berkata, “Itu beneran Arnand? Sejak kapan dia bisa ngaji?”

Tanpa sadar, Heru mendekat ke pintu kamar keponakannya itu. Selanjutnya, ia mendengar Arnand sedang membaca ayat Al-Qur’an. Namun, kali ini bacaan Arnand tersendat-sendat. Sering kali ada suara lain yang mengajari, membuat kening Heru membentuk lipatan.

Sekarang, Hera mengerti. Ini yang dimaksud Ji Sung dengan belajar. Mereka sedang belajar mengaji.

“Biarkan mereka, Mas. Mereka sedang belajar,” kata Hera, menarik lengan suaminya untuk kembali menjauh.

Heru pun mengikuti Hera menuju ruang tengah. Sesekali ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arah pintu kamar Arnand. Sungguh, ia belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Walaupun yang terakhir didengarnya adalah bacaan Arnand yang tersendat-sendat, tapi itu merupakan sesuatu yang luar biasa untuknya. Ia merasa seolah keajaiban telah terjadi.

“Kenapa dia tiba-tiba …. Ah, apa itu benar Arnand?” tanya Heru sembari duduk di sofa.

“Aku juga tidak percaya tadi. Tapi, itu benar-benar Arnand, Mas. Arnand anaknya Murni, keponakan kita,” ujar Hera semringah. “Murni pasti sangat senang kalau tahu kabar Arnand mau belajar agama.”

“Jangan beritahu Murni dulu. Kita belum tahu yang sebenarnya. Mungkin saja anak itu sedang merencanakan sesuatu.”

Ekspresi di wajah Hera langsung berubah begitu mendengar ucapan Heru. “Ini yang tidak disukai Arnand, Mas. Bagaimana dia akan berubah menjadi lebih baik kalau kita sendiri tidak percaya dia akan berubah? Kita tahu, Arnand dididik sangat keras oleh ayahnya. Jadi, tidak bisakah kita bersikap lembut padanya sekarang? Mungkin saja hatinya akan melembut dengan kita bersikap lembut, ‘kan?”

Heru menghela napas. Ia ingin membantah ucapan Hera. Namun, ucapan istrinya itu tidak ada yang salah. ia tahu betul bagaimana Arnand diperlakukan oleh ayahnya. Mungkin saja jika mereka bersikap lembut, Arnand akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

“Kali ini, kuikuti kata-katamu.”

🍁🍂🍁

Apa hati Arnand akan melunak sesuai harapan tante dan omnya? Apa ia akan ikhlas belajar agama?

Tunggu part selanjutnya, ya, Gaess.


Semusim di SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang