6. Seorang Lelaki

2K 359 42
                                    

Malam ini, So Hyeon tidak sendiri menutup toko. Ia dibantu Hwang Ji Sung dan Nela. Ji Sung adalah seniornya di kampus dulu. Lelaki itu banyak membantu dalam membuat kue. Dan, Nela adalah juniornya di kampus. Ia sengaja meminta Nela untuk bekerja di toko sebagai pekerja paruh waktu karena melihat kondisi keuangan gadis itu.

“Terima kasih sudah membantuku hari ini,” kata  So Hyeon pada Ji Sung.

“Sama-sama. Aku senang membantumu,” jawab Ji Sung dengan senyum yang melelehkan.

Di kampus mereka dulu, Ji Sung adalah idola. Banyak gadis yang menyatakan cinta padanya, tapi semua ditolak. Ada satu alasan kenapa Ji Sung menolak semua gadis itu. Bukan karena merasa tampan dan populer, melainkan karena perbedaan keyakinan.

Ji Sung adalah seorang muallaf. Dia mempelajari islam selama dua tahun, lalu memutuskan untuk mengucap dua kalimat syahadat setelahnya.

“Ji Sung-ah,” panggil So Hyeon ketika lelaki itu mengunci pintu toko.

“Kenapa?”

Saengil cukha hamnida!*” seru So Hyeon sembari mengulurkan sebuah kotak yang dibalut dengan bungkusan kado.

Senyuman Ji Sung mengembang lebar. “Terima kasih. Aku tidak tahu kamu masih mengingat ulang tahunku.”

“Aku tidak mungkin melupakan ulang tahunmu, sementara kamu mengingat ulang tahunku.”

Ji Sung mengangguk. “Apa aku boleh membukanya sekarang?”

“Tentu saja.”

Begitu mendengar persetujuan So Hyeon, Ji Sung langsung melepas bungkusan kado. “Wah, apa kamu serius?” Ji Sung tidak percaya dengan kado pemberian So Hyeon.

“Kamu menyukainya?”

“So Hyeon-ah, bukankah ini terlalu berlebihan? Aku jadi tidak enak menerimanya. Sekarang kamu lagi butuh modal untuk mengembangkan toko kuemu, ‘kan?”

So Hyeon menggeleng. “Untuk seorang sahabat sekaligus seorang guru yang hebat, ini tidak berlebihan. Bahkan, kalau mampu, aku akan memberi lebih.”

Ji Sung memperhatikan sepasang sepatu pemberian So Hyeon. Ia tahu harga sepatu itu sangat mahal, terutama untuk So Hyeon yang baru mulai merintis usaha. Perlahan, kaki Ji Sung otomatis melangkah. Tangannya terangkat hendak memeluk gadis di depannya. Namun, ketika ia menyadari itu salah, ia langsung menurunkannya kembali.

“Maaf,” ucapnya sembari menggaruk kepala bagian belakang.

Melihat wajah Ji Sung yang memerah, So Hyeon tersenyum simpul.

Ah, interaksi yang terlalu manis untuk disebut sebagai persahabatan. Nela yang pertama kali melihatnya pun menyadari ada rasa yang tak biasa di antara keduanya.

“Kalau begitu, aku pulang dulu.” Ji Sung melangkah mundur. Sebelum berbalik, ia melambaikan tangan dengan senyum lebar. “Terima kasih untuk kadonya!” teriaknya ketika sampai di dekat mobil.

Sudut bibir So Hyeon kembali membentuk senyuman. Dari dulu, Ji Sung memang paling bisa membuat So Hyeon tersenyum. Kadang dengan gurauannya yang garing. Terkadang juga dengan tingkahnya yang manis seperti sekarang.

“Kak, apa laki-laki di Korea memang semanis itu? Ini sudah seperti drama Korea yang kutonton, lho.”

“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Nel?”

“Aku penasaran aja. Kalau semua laki-laki di Korea memang semanis itu, aku mau cari calon suami orang Korea aja, deh.”

So Hyeon menarik hidung Nela yang tidak terlalu mancung. “Tentu saja tidak semua. Tapi dari yang kudengar, laki-laki di Indonesia juga banyak yang manis.”

Nela mengedik. “Entahlah. Kalau di suruh memilih, Kak So Hyeon lebih memilih menikah dengan orang Korea atau Indonesia?”

“Aku akan menikah dengan jodohku,” jawab So Hyeon singkat.

“Itu bukan jawaban, Kak.”

“Kalau bukan jawaban, lalu apa?” So Hyeon naik ke sepedanya. “Aku akan menikah dengan seseorang yang memang dijodohkan Allah denganku.”

“Terserahlah, Kak.”
So Hyeon tertawa. “Kamu pulang sana. Besok ada kuliah, ‘kan?”

Nela mengangguk.

“Aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum.” So Hyeon kemudian mengayuh sepedanya. Sembari mengayuh, ia memikirkan pertanyaan Nela. Jika ada dua pilihan, dia akan memilih yang mana? Lelaki Korea atau lelaki Indonesia.

Ada dua lelaki Indonesia yang dikenal So Hyeon. Yang pertama, Sudrajat, ayah kandungnya. Lelaki yang telah mencampakkan ibunya hingga terpaksa menjadi TKW di Korea. Dan yang kedua, Arnand. Lelaki yang dari awal sudah memberikan kesan buruk padanya. Mulai dari mengatakan hal yang tidak jelas sampai mabuk di depannya. Hanya istigfar yang ada di kepala So Hyeon setiap bertemu dengan lelaki bernama Arnand itu.

Saat melewati rumah Tante Hera, So Hyeon tiba-tiba berhenti. Ia menatap sosok lelaki yang sedang duduk di bawah pohon sakura. Lelaki itu mengenakan mantel dengan kepala menunduk.

“Ahjussi Heru kenapa? Apa Ahjumma Hera belum pulang?” pikir So Hyeon.

Karena merasa kasihan, So Hyeon turun dari sepeda. “Heru Ahjussi? Kenapa di luar malam-malam begini?” sapanya.

Namun, saat lelaki yang disapa mengangkat wajah, So Hyeon langsung berbalik. Ia kembali naik ke sepeda, lalu mengayuhnya dengan cepat. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya ia mengayuh sepeda secepat ini.

“Astagfirullah! Kenapa dia di sana?” ujar So Hyeon ketika sampai di depan pintu pagar rumahnya. “Sepertinya, otaknya memang sakit.”

Setelah memarkir sepeda di halaman rumah, So Hyeon mengucapkan salam. Ia langsung menuju kamar begitu pintu dibuka oleh mamanya.

Sebelum tidur, ia memeriksa catatan penjualan hari ini. Penjualannya tidak sebanyak yang kemarin. Tetapi, So Hyeon merasa itu bukan masalah besar. Ini hal yang biasa dalam sebuah usaha.

Ketika hendak menutup buku catatan, amplop putih yang terselip di sana menyita perhatian So Hyeon. Ia ingat, amplop itu diberikan Arnand tadi siang. Sengaja diselipkannya dibuku catatan karena buru-buru membuat pesanan pembeli lain.

Ia ingin membuang amplop itu. Akan tetapi, rasa penasaran dengan apa yang ditulis Arnand di sana mencegah niatnya. Ia sungguh penasaran apa yang bisa ditulis oleh seorang lelaki pemabuk.

Hai! Aku senang bisa berkenalan denganmu walaupun kamu tidak senang berkenalan denganku.

Aku hanya ingin memberi tahu kalau aku bukan seorang penjahat. Aku hanya seseorang yang ingin menikmati keindahan yang telah disuguhkan Sang Pencipta di negara ini. Jadi, jangan sekalipun takut padaku karena aku tidak akan menyakitimu.

Oh ya, untuk pertemuan pertama kita yang tidak menyenangkan, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja. Dan, seharusnya aku lebih hati-hati.

Kalau aku besok ke tokomu, apa kamu akan menerima uluran persahabatanku?

So Hyeon melongo membaca tulisan itu. Ia meremas, lalu membuangnya ke keranjang sampah yang ada di sudut kamar. Ia sama sekali tidak peduli. Mau berapa kali pun lelaki yang menulis surat itu datang ke tokonya, sikapnya tetap akan sama.

Untuk So Hyeon, lelaki seperti Arnand adalah salah satu lelaki yang harus dijauhi. Ia tidak ingin apa yang terjadi pada ibunya terulang lagi padanya. Jangan sampai ia terjatuh pada lubang yang sama.

Untuk sekarang, jika diminta untuk memilih antara lelaki Korea atau Indonesia, So Hyeon akan memilih lelaki Korea.


***


Oke. Kita tahan dulu sampai di sini, ya. Hari Senin kita lanjut lagi.

Oh ya, jika teman-teman ada di posisi So Hyeon, kalian akan pilih yang mana? Lelaki Indonesia atau lelaki Korea?

Arnand Askandar atau Hwang Ji Sung?

*Selamat Ulang Tahun

Semusim di SeoulWhere stories live. Discover now