08. Rasa Tidak Percaya

1.5K 314 20
                                    

Arnand mengedik melihat tatapan Didik ke pakaiannya. Ya, ia sendiri juga sebenarnya risih dengan noda merah yang ada di sana. Namun, mau bagaimana lagi? Ia telanjur menggendong gadis yang sedang pendarahan.

“Lalu, sekarang bagaimana?” tanya Didik.

“Apanya?”

“Ketemu So Hyeon.”

“Kalau kamu masih mau ketemu dia, pergi saja. Aku akan pulang dan mengganti bajuku.” Arnand bergegas menuju jalan seolah ia akan naik angkutan umum. Padahal, ia sama sekali tidak tahu alamat pasti rumah Tante Hera.

Lantas ia pun tersenyum ketika Didik mendekat, terutama ketika sahabatnya itu berkata, “Ya, udah. Kita pulang saja.”

“Begitu, dong.” Arnand merangkul Didik sembari tertawa lebar. Akan tetapi, tawanya langsung reda melihat seorang gadis berjilbab biru turun dari sebuah mobil. Gadis itulah yang sempat mencegat Arnand tadi.

Ketika gadis itu menghampiri, Arnand langsung tertawa sinis. “Sebegitu tidak percayanya kamu pada kami?” kata Arnand, mengembuskan napas kesal.

“Di mana dia?”

“Dia ada di dalam bersama keluarganya,” jawab Didik.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Dia ….”

“So Hyeon-ah! Bagaimana?” Seorang pria berponi menghampiri. Napas lelaki itu terburu karena berlari dari parkiran. “Tidak ada masalah, ‘kan?”

“Ini laki-laki yang kamu maksud kemarin?” bisik Didik pada Arnand hingga membuat So Hyeon curiga.

“Kenapa?” tanya So Hyeon.

Arnand kembali tertawa sinis. “Temanku tidak suka dengan laki-laki yang ada di sampingmu. Kalian terlalu serasi,” kata Arnand yang langsung dihadiahi Didik berupa tendangan tepat di matahari kakinya.

Lelaki yang dibicarakan tersipu malu. Ia menatap So Hyeon penuh arti.

“Dia temanmu, pacar, atau suami?” tanya Arnand, mewakili Didik.

“Aku teman sekaligus calon imamnya.”

Mata So Hyeon melebar. Ditatapnya Ji Sung yang tengah tersenyum lebar. Namun, ia tidak membantah ucapan lelaki itu.

Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga detik ke sepuluh, Arnand menunggu bantahan dari So Hyeon. Akan tetapi, apa yang diharapkannya itu sama sekali tidak kunjung terjadi. Karena itu, ia pun masuk ke dalam mobil diikuti Didik.

“Bagaimana, Dik? Apa kamu masih berharap pada So Hyeon? Dia sudah punya calon suami, tuh.”

Didik memegang setir dengan erat. “Sebelum janur kuning melengkung, aku tidak akan menyerah. Bahkan, aku tidak akan menyerah sampai bendera kuning berkibar.”

Arnand tertawa lebar. “Apa yang membuatmu sampai seperti ini pada So Hyeon? Masih banyak perempuan di Indonesia yang lebih baik daripada dia. Kamu mau yang lebih cantik, ada. Yang lebih seksi, ada. Yang lebih alim, ada. Semua ada, Dik. Kamu tidak perlu jauh-jauh ke Korea.”

“Kenapa aku merasa kamu makin cerewet ya, Nand?”

Arnand menyandarkan punggungnya. “Kalau cerewet untuk kebaikan tidak masalah, ‘kan? Kamu juga begitu kemarin. Waktu aku ….” Arnand tidak menyelesaikan kalimatnya. Matanya terpejam, mengingat di masa ia berada di titik paling bodoh.

Tiba-tiba, Didik menghidupkan mobil, lalu menginjak pedal gas buru-buru hingga membuat Arnand terkejut.

“Kenapa?”

“Satpamnya mau datangi kita,” kekeh Didik. “Kita kan parkir di tempat yang bukan seharusnya.”

Arnand menoleh ke belakang. Benar yang dikatakan Didik. Seorang pria berseragam biru gelap sudah berdiri di tempat parkir mereka tadi. Akan tetapi, ada hal lain yang menarik perhatian Arnand. Ia melihat So Hyeon dan Ji Sung di sana. Keduanya tertawa sembari berjalan masuk ke rumah sakit. “Sepertinya akan sulit,” gumamnya tanpa sadar.

“Kenapa?” tanya Didik.

“Tidak apa-apa,” sahut Arnand memejamkan mata.

***

Di pintu keluar parkir, So Hyeon menunggu Ji Sung yang sedang mengambil mobil. Dibukanya beberapa pesan dari Nela. Gadis itu pasti kewalahan menjaga toko sendirian.

“Ji Sung-ah, ayo kita cepat ke toko,” kata So Hyeon buru-buru masuk ke dalam mobil begitu Ji Sung datang.

“Santai. Nela kan ada di sana.”

“Iya. Tapi, dia mungkin kewalahan.”

“Baiklah. Kamu pakai sabuk pengaman dulu.” Ji Sung hendak memasangkan sabuk pengaman So Hyeon, tapi kembali diurungkannya niat itu. “Maaf.”

So Hyeon mengangguk. Dan, suasana tiba-tiba menjadi aneh untuknya. “Aku sangat kasihan padanya,” kata So Hyeon, mencairkan suasana.

“Siapa?”

“Perempuan tadi.”

“Ya, aku juga kasihan padanya. Tapi, mau bagaimana lagi? Itu akibat dari kelakuannya sendiri, ‘kan? Dia yang tidak menjaga pergaulannya.”

So Hyeon mengangguk. “Iya, sih. Tapi, tetap saja aku kasihan karena laki-laki yang berbuat itu padanya malah tidak bertanggung jawab.”

“Oh iya, aku baru ingat. Aku mau tanya soal dua orang tadi. Apa kamu mengenal mereka?”

“Siapa?”

“Dua orang tadi.”

“Ah, aku tidak mengenal mereka.”

Ji Sung melirik So Hyeon. “Kalau kamu tidak mengenal mereka, kenapa kamu buru-buru memintaku mengantarmu ke rumah sakit? Mereka kan sudah bilang mau membantu gadis itu.”

So Hyeon terdiam. Tadi dia memang sempat suuzan pada Arnand dan Didik. Ya, siapa juga yang tidak akan berpikiran buruk setelah kejadian malam yang menakutkan itu? Pasti semua orang juga akan bersikap sama.

Sampai sekarang, ia bahkan tidak menyangka seorang pemabuk seperti Arnand mau membantu orang lain. Padahal, masih banyak orang di tempat kejadian tadi.

Selama perjalanan, So Hyeon kemudian memutuskan untuk diam. Rasa canggung di dalam mobil yang sama dengan Ji Sung benar-benar menyiksa. Entah apa yang ada di pikirannya tadi hingga mengajak Ji Sung untuk pergi.

“Aku duluan, ya,” kata So Hyeon begitu sampai. Ia bergegas turun dari mobil, lalu berlari kecil menuju toko.

“Apa kamu kerepotan, Nel?” sapa So Hyeon, meletakkan tasnya di atas meja.

Nela tersenyum. “Sekarang sih tidak, Kak. Tadi yang cukup repot. Oh ya, ada surat nih untuk Kak So Hyeon.”

“Surat? Dari siapa?”

“Nela juga tidak tahu, Kak. Tadi, orangnya cuma pesan dikasih sama Kak So Hyeon aja.” Nela memberikan surat yang dimaksud.

“Surat dari siapa?” gumam So Hyeon, sembari mengambil kertas dalam amplop lalu membukanya.



Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Malam ini, aku memikirkanmu lagi. Maaf, ya.

Aku sudah berusaha untuk menghapus senyumanmu dari benakku. Tapi, akhirnya aku tetap gagal.

Mungkin kamu sekarang sedang berpikir, kapan kamu tersenyum padaku. Ya, kamu memang tidak pernah tersenyum padaku. Dan, kuharap kamu juga tidak pernah menebar senyum indahmu pada laki-laki lain. Karena itu hanya untuk imammu nanti.

Bukan aku terlalu percaya diri kalau akan menjadi imammu. Tapi, berharap sepertinya tidak salah, kan?

Apa kamu tahu? Walaupun kamu tidak pernah tersenyum padaku, aku selalu memperhatikanmu ketika tersenyum pada pembeli di toko. Aku minta izin ya karena sudah melihat senyumanmu. Dan, aku juga berterima kasih karena telah memiliki senyuman seindah itu.

Besok aku akan datang lagi ke toko. Kuharap besok sikapmu sudah berubah padaku.


So Hyeon menggeleng seusai membaca tulisan di kertas itu. Entah kenapa ia tidak percaya kalau yang menulis surat itu adalah orang yang dikenalnya.

***

Maaf, postingnya telat.
Ada beberapa hal yang harus dikerjakan tadi.

Aku mau curhat tentang cerita ini, tapi nanti aja, deh. Sudah malam.

Tetap ikuti kisah Arnand dan So Hyeon, ya.

Semusim di SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang