Bagian 1: Kilas Balik

15 2 0
                                    


Teruntuk Ares,

Sudah hampir sepuluh tahun sejak persahabatan kita dimulai, ya, kan? Sudahlah, katakan saja iya. Hehe. Dan, sekarang, tak terasa, kita telah lulus dan meninggalkan masa SMA kita yang unik dan brutal ini.

Tahukah kamu, Ares? Ya, kamu yang aku kenal sejak SD, yang kukenal saat hujan turun dengan tiba-tiba di musim gugur itu, Ares yang memberikan payung warna birunya untukku yang basah kuyup di petang hari itu, yang kutahu keesokan harinya bahwa kamu, Antares yang masih ingusan dengan pipi merah jambunya, adalah teman sebangkuku.

Sudah berapa musim gugur yang kita lewati bersama?

Sudah berapa bar coklat hitam yang kita habiskan tiap hari ulang tahunmu?

Sudah berapa buah pesawat kertas yang kau terbangkan tiap tahun tepat di hari ulang tahunku?

Sudah sangat lama, kan, huh?

Seperti mimpi yang selalu tak kuketahui awal bermulanya, begitu pula rasaku padamu. Walaupun aku tak tahu pasti kapan tepatnya rasa itu merayap–rayap dalam diriku, mempercepat debaran jantungku tiap kali melihatmu, yang kutahu aku telah menyukaimu.

Sejak kita menari dalam hujan untuk yang pertama kali, aku telah menyukaimu.

Sejak kita tertawa dan menangis bersama, aku telah menyukaimu.

Sejak kita menghitung bintang di loteng rumahmu, aku telah menyukaimu.

Bahkan, sejak kita mengempeskan ban mobil Mr. Moore, aku telah menyukaimu.

Yang aku tahu hanya,

Aku, Marie–Louise, menyukai Ares. Antares yang walaupun cahayanya tak seterang Matahari, akan selalu jadi bintang paling cemerlang dalam setiap konstelasi pada bola langitku.

"Kuharap yang kaumaksudkan adalah aku."

***

Aku tunggu kau di tempat biasa, sekarang. Berlarilah.

From: Rigel

Gadis berambut pirang itu telah membaca pesan singkat itu bahkan sebelum getaran ponselnya berhenti. Ia berhenti sebentar untuk mengikat tali sepatunya kencang–kencang dan berdiri kembali, mempercepat langkah sembari mengikatkan rambut pirang panjangnya itu. Menyisakan beberapa helai rambut yang tak terikat pada bagian tengkuknya. Gadis itu berlari, mengabaikan lalu lintas Rue Saint Jacques yang padat merayap di sore hari pada musim gugur itu. Dan, dari setiap orang yang mengenalnya, kau dapat mengetahui bahwa nama depannya adalah Marie–Louise. Marie-Louise terus berlari, menyusuri Rue Saint Jacques, menyeberangi Rue des écoles dan Boulevard Saint Germain menuju jalanan kecil, Rue Dante, yang akan mengantarkannya ke taman di pinggiran sungai Seine.

Ya, dia di sana, di Square Réne Viviani, laki–laki yang berada sekitar lima meter di depan Marie-Louise berbalik badan dan melambaikan tangan kepadanya yang masih terus berlari. Senyumnya masih sama seperti biasanya, menenangkan. Marie-Louise melambatkan langkahnya dan segera beringsut duduk di kursi taman itu, tak jauh dari tempat berdirinya laki-laki itu. Sedangkan laki–laki itu sendiri, masih berdiri bersandar pada Pohon Maple yang terus menggugurkan daun–daun warna scarlet-nya.

"Bonsoir!"

"Lelah, Modemoiselle?", dengan senyum yang menawan, laki–laki itu bertanya.

La Cassiopée (Cassiopeia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang