ANAK MISTERIUS

2 1 0
                                    

A Girl's journey
#AGJ
==================
Part 2. Anak misterius

Roda mobil masih meluncur dijalan yang cukup mulus. Gelap mulai tersisihkan, digantikan sinar putih yang tak menyilaukan. Dan dingin, masih enggan terusir.

Aktivitas sebuah kota kecil mulai terlihat disisi kiri dan kanan jalan.  Pengguna jalanan mulai rapat. Sesekali angkot menyalip sesukanya. Dan pengendara sepeda motor meliuk-liuk nencari celah, membuat nafasku tertahan berkali-kali. Tidak semacet jalanan dikota namun cukup membuatku memutuskan untuk mengangkat sedikit injakan kaki pada pedal gas. Laju mobil pun melambat.

Sepertinya jalan ini berada ditengah-tengah sebuah pasar. Sisi kanan jalan, barisan ruko dengan model arsitektur lama mulai terlihat berbenah. Posisi bangunannya sedikit diatas jalan. Entah disengaja, atau kontur tanahnya yang meninggi. Disisi kiri mobil, lapak penjual sayur mayur, cabe, daging dan sebagainya berjejer beraturan meninggalkan kesan tak enak pada pandangan mataku. Agak disudut, diemperan toko yang kumuh, diantara deretan becak dan mobil pick up, mataku menangkap beberapa sosok 'doggy' dalam keadaan badan terikat karung goni dan hanya menyisakan bagian kepala dibagian luar. Pandangan mereka sayu dan beberapa meronta-ronta mencoba keluar.

Aku bergidik... Dapat kubayangkan apa jadinya mereka nanti. Sebagai seorang muslim, aku memang tak bisa leluasa menjadikan anjing sebagai hewan peliharaan. Namun hati kecilku tak dapat menolak rasa kasihan, bila hewan yang terkenal setia itu disajikan sebagai bahan makanan. Aku menggigit bibir bawahku, sesak dihatiku bertambah. Manusia, demi memenuhi sejengkal perutnya, akan sanggup melakukan apa saja. Dan demi ambisinya, manusia bahkan sanggup membantai sesamanya. Seperti yang terjadi di Palestina dan suriah sana. Apatah lagi terhadap makhluk yang lebih tak berdaya seperti hewan-hewan yang tergeletak disana. Ya Tuhan, aku ingin menangis...

Kubuang pandanganku kearah jalan. Tak sanggup melihat pemandangan menggenaskan itu lebih lama lagi. Tak beberapa lama, kulihat sebuah bangunan dengan halaman cukup luas berdiri megah. Beberapa aparat kepolisian terlihat berjaga didepannya. Kubaca tulisan yang tertera besar-besar dihalamannya. POLSEK PANCUR BATU. Aku manggut-manggut sendiri. Alangkah senangnya, bila para aparat itu juga melindungi para hewan lemah disana. Hanya berjarak beberapa meter saja.

Aku belum pernah kedaerah ini. Hingga seusia ini, papi selalu melarangku kemana-mana. Dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Kuraih smartphone dan melihat sekilas peta GPS dilayarnya. Tujuanku masih cukup jauh.

Dan, perutku mulai terasa lapar. 07.15, tulisan angka yang tertera disudut kiri atas. Jam segini biasanya aku sudah sarapan pagi. Sepiring lontong sayur atau kue lupis dengan siraman gula merah cair. Slrrppp, ludahku serasa ingin menetes.

Dengan teliti, kucari penjual sarapan pagi disepanjang jalan. Aha, akhirnya sebuah kios kecil dengan tulisan lafaz basmallah tertempel di steling kaca menarik minatku untuk menepikan kendaraan.

Kurapikan sedikit wajah dari kaca depan. Yup, beres! Wajahku tidak terlihat kucel maupun sembab. Kukunci pintu mobil dan melangkah menuju sajian sarapan pagi yang menggugah selera.

Sedikit kecewa karena si ibu penjual tak menyediakan lupis, kupesan sepiring lontong sayur dengan lauk telur dadar dan perkedel kentang sebagai pelengkap. Kusapu pandangan, dan memilih duduk di sebuah meja disebelah kiri ruangan kios kecil ini. "Bu, sekalian kopi susu hangat, satu, ya." pesanku pada si ibu yang mengangguk mengerti.
Aku terbiasa minum kopi di pagi hari, apalagi setelah ini aku harus menyetir sekitar 3 atau 4 jam lagi. Sebaiknya aku mempersiapkan diri agar tak mengantuk dijalan.

Tak berapa lama, sarapanku hadir diatas meja. Lontong dari cetakan daun, yang menyisakan warna hijau ditepiannya, dipotong dengan ukuran sedang. Disiram dengan kuah gulai nangka muda yang tak terlalu kental, bewarna kuning sedikit kemerahan. Cabe hijau yang diiris serong tipis dengan tahu dan udang kecil-kecil tersusun diatas taburan mihun goreng, menguarkan aroma tauco yang menyegarkan. Khas. Kerupuk merah, telur dadar dan perkedel ikut melengkapi. Perfecto!

Suapan demi suapan, susul menyusul sehingga sebentar saja makananku berkurang lebih setengahnya. Kuraih gelas kopi dan mulai menyeruput isinya. Hhmmm...

Kuedarkan pandangan kepenjuru kios. Si ibu penjual masih berdiri menyiapkan pesanan beberapa orang yang mulai ramai antri didepan. Kios yang terbuka ini berukuran tak terlalu luas. Mungkin sekitar 4 x 7 meter. Empat buah meja petak kecil tersusun rapi, termasuk yang kutempati. Masing-masing meja diisi tatakan gelas bersih, tempat garpu dan sendok serta ceret kecil yang terasa hangat saat kusentuh.

Cukup bersih dan ramai, meski terletak agak jauh dari pasar yang tadi kulewati. Masakannya memang terasa lezat dan penjualnya juga ramah. Senyum sering tersungging di wajahnya yang bulat.

Kuhabiskan sarapanku yang tinggal sedikit lagi. Dan bergerak membayar makananku.
"Bu, berapa ya ?"
"Pakai apa lauknya tadi?"
"Telur dadar dan perkedel. Minumnya kopi susu." jelasku sekalian.
"Oh, 15 ribu, mbak." jawabnya.
Murah, pikirku. Kuangsurkan uang lembaran biru dan dengan sigap si ibu memberikan kembaliannya. "Terima kasih ya, mbak." ucapnya kemudian.
"Sama-sama, bu."  Bukan basa-basi, aku juga sama berterima kasihnya karena masakannya mampu memuaskan rasa lapar yang kurasakan sebelumnya.

Udara mulai terasa hangat saat aku membuka  pintu mobil. Kupicingkan mata, sinar matahari sejenak menyilaukan mata. Kuturunkan penghalang sinar didepanku lalu mulai menghidupkan mesin mobil.

Ciittt... Belum sempat bergerak maju, pedal rem reflek kupijak mendadak. Seorang anak kecil berdiri tepat didepan mobilku. Anak lelaki berusia sekitar 9 - 10 tahun dengan tubuh sedikit kurus. Ia mengenakan kaus putih polos dan celana panjang hitam. Biasa. Namun, sesuatu membuat bulu kudukku meremang. Tatapannya tajam, tepat menikam manik mataku. Membuatku melengos tanpa sadar. Matanya yang hitam bulat dengan alis tebal terlihat kontras dengan wajahnya yang putih tirus. Rambutnya hitam sedikit mengkilat karena sinar matahari. Poni tipis menutupi sebagian keningnya.

Dahiku berkerut. Anak itu jelas-jelas menatapku lekat. Kukibaskan sedikit tangan, sebagai tanda agar ia berpindah tempat karena menghalangi mobilku. Ia bergeming.

Ckck. Aku mulai kesal. Anak itu masih menatapku tanpa ekspresi. Bahkan kurasa, matanya itu tak berkedip sama sekali. Ku putar kenop kaca jendela dan menjulurkan kepala untuk menyuruhnya pergi.

Hei! Kemana anak itu tadi? Aku celingukan. Tiada siapa pun berdiri didepan sana. Masih penasaran, netraku masih mencari sosok anak berkaus putih. Nihil. Apa-apa'an ini, pikirku. Aku bergidik. Dan mulai memacu kuda besiku menjauh.

===============================
Cerita kali ini, dibuat dari sudut pandang saya sebagai seorang muslim. Tidak untuk memicu perdebatan tentang kearifan lokal dibeberapa daerah. Perbedaan itu selalu ada, namun jangan dijadikan suatu alasan perpecahan. Dan pada akhirnya, berubahlah menjadi lebih baik tanpa perlu merendahkan orang lain.

A girl's JourneyWhere stories live. Discover now