Angel

18 0 0
                                    

“Hengye, kau bawa ‘itu’ tidak?” tanyaku. Anak bertubuh tambun berkacamata itu mengangguk.

“Tidak kucuci 2 bulan.” Ucapnya bangga. Aku bergidik.

“Terima kasih, Kung Hengye. Kau baik.” Aku berterimakasih padanya saat dia memberikan buntalan tas kresek padaku.

“Tidak masalah, Qiao.” Dia tersenyum. Euh. Aku bisa melihat giginya yang penuh dengan plak. Aku segera pergi dari sana, lalu berjalan menuju kelas Luhan.

Ya. Kelas Luhan.

Aku sangat bersyukur karena Li  Laoshi sedang tidak masuk hari ini. Dan saat ini, kelas Luhan sedang mengikuti kelas olahraga. Jelas kelasnya kosong. Jadi, aku melancarkan Qiaotian attack-ku. Meskipun kelasnya kosong, aku tetap pergi kesana dengan mengendap-endap. Aku tidak perlu kesusahan mencari letak bangkunya, karena tumpukan kado yang mendominasi bangkunya itu. Orang yang matanya minus 10 pun akan tahu kalau itu bangku Luhan.

Aku segera membuka tas Luhan dan memasukkan isi tas kresek yang aku bawa tadi ke tas Luhan.  Eugh! Kaos kaki Hengye memang bau! Aku bahkan sudah menjepit hidungku! Aku segera pergi dari sana, tanpa meninggalkan jejak. Tapi aku tetap mengawasinya. Aku ingin melihat ekspresinya.

Sekitar 20 menit aku sudah menunggu, dan mereka, gerombolan anak kelas 11 itu datang dengan tubuh berkeringat. Teman-teman Luhan berteriak, dan Luhan tertawa-tawa dengan teman-temannya. Kita lihat, apa Luhan masih bisa tertawa setelah ini.

Dia duduk di bangkunya.

Dia memberikan satu hadiah pada temannya, dan satunya lagi pada yang lain… dia sedang  membagikan hadiah itu pada teman sekelasnya.

Ia mengambil minuman yang terletak di bangku temannya, dan meneguknya.

Ia mengucapkan beberapa hal, lalu tertawa.

Ia membuka tasnya.

IA MEMBUKA TASNYA!

“HWA!” teriaknya sambil terperanjat. Aku terkikik tertahan. “Ini apa?! Eugh! Baunya!” serunya.  Aku segera beranjak dari sana, dan tertawa terbahak-bahak disepanjang koridor.

Dia sangat lucu.

=

“Itu ekspresi Papa kalian yang sangat langka. Mama hanya pernah melihatnya tiga kali selama ini.” Ucapku sambil tertawa. Terbahak-bahak. Mengingat hal itu membuatku malu sendiri. Ah, sejahat itukah aku pada Luhan dulu…

“Tiga kali?” Lixue bertanya.

“Kapan?” Liwei menanyakan hal yang membuat tawaku sedikit reda.

“Pertama, saat itu. Saat Papa kalian kaget karena kaos kaki paman Kung. Lalu yang kedua, saat Papa kalian kaget karena mama akan melahirkan. Dan ketiga, saat Papa kalian tahu kalau Mama melahirkan anak kembar.” Aku bernostalgia. “Saat itu, Mama malah sibuk mentertawakan wajah Papa kalian. Dia berteriak-teriak, ‘Anakku kembar? Kembar?’ begitu.” Aku menceritakan semuanya. Mereka mengangguk.

“Memangnya Mama tidak tahu kalau kita kembar saat di kandungan?”

“Mama dan Papa memang sengaja tidak ingin mengetahuinya. Nanti tidak ‘Surprise’.” Aku menjelaskan kejadian itu pada mereka.

“Tsk. Kekanak-kanakan sekali.”

 “Sudahlah, Wei. Lalu, setelah itu, mama menjahili Papa seperti apa?”

=

“Yueyan, aku… aku boleh minta nomer Luhan tidak?” tanyaku. Yueyan dan Wanhe membulatkan matanya kaget. Dia segera menyentuh dahiku, lalu membandingkannya dengan panas tubuhnya.

Mom Told MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang