26 # Rencana Lawan

50 15 4
                                    

Kediaman keluarga Tohar Siranggeng di Jalan Saraswati nomor 342, adalah seperti sebutir berlian di tengah-tengah ongokan 'telur' kuda. Dengan pagar setinggi puncak tertinggi rumahnya, Tohar tampaknya tidak akan membiarkan orang asing melihat kemegahan 'berlian' itu, karena 'telur' kuda di sekelilingnya, baginya adalah ke-bar-bar-an yang tidak seharusnya melihat berlian.

Rumah mewah tiga lantai dengan nuansa mediteranian itu berdiri di atas tanah terbaik seluas dua hektar, dengan halaman luas penuh rumput hijau di sekelilingnya yang dihiasi rumpun aster dan adenium di sana sini.

Jendela-jendela besar setinggi dinding itu sendiri menghiasi sekeliling rumah, memastikan tiga orang penghuninya, beserta delapan pelayan dan sopir tidak kekurangan cahaya dan udara.

Di sisi Barat rumah, terdapat jalan setapak yang menuju halaman samping hingga ke halaman belakang, dari mana saat itu suara derum mesin menyerupai mesin motor terdengar.

Semakin ke belakang, suara itu semakin jelas, diiringi suara teriakan seorang wanita yang tampaknya memohon dengan sangat.

Suara gelak tawa dua orang anak mengalahkan tangis teriakan wanita itu, yang sambil menjinjingkan kainnya, melambai-lambai pada sang pengemudi motor mini yang melintas dan melonjak-lonjak di atas hamparan rumput indah hasil kerja kerasnya.

"Den, Bryan...! Aduh Den, nanti saya dimarahi nyonya! Itu bunganya baru dibeli! Den.. Mbok berhenti sebentar to Den!"

Bryan, pengemudi motor trail mini itu, justru seperti mendapat petunjuk bunga mana yang harus digasak dengan roda motornya. Ia menancap gas dan merangsek rumpun mawar brazil yang baru berkuncup, dan tertawa melihat wanita tua perawat kebun mamanya itu menggerung-gerung mengejarnya.

"Oalah Den...! Bunga itu mahal sekali!... Sudah Den...Den...!"

Bryan memutar motornya, lalu berjalan di atas jajaran tunas lili yang baru disemikan.

"Duh Gusti...! Masyallah....!" tangis Mbok Semi sambil mengelus dada. Sementara Bryan mencapai tempat kedua temannya, Yudha dan Alex, melakukan toast sambil tertawa terbahak-bahak.

"Makanya! Jangan sok ngatur! Om Tohar aja nggak pernah ngelarang Bryan! Ya kan, Bry?" Alex menepuk bahu sahabatnya itu.

"Ayo naik!" sekali lagi Bryan membalik arah motornya dan Alex membonceng di belakang.

"Giliranmu nanti, Yud." Katanya sambil mencari sasaran gasakan baru.

***

Seseorang yang melihat semua itu dari ambang jendela ruang kerja mengelengkan kepala. Di telinganya gagang pesawat telepon sedang bertengger menghubungkannya dengan seseorang.

"Ditanyakan dulu?.... Ya, ya, saya tunggu." Laki-laki itu, Fahru, memindahkan gagang telepon ke bahunya sebentar dan mengeluarkan kepalanya dari jendela. Suara bising gas motor memenuhi udara. Melihat Mbok Semi yang memegangi kepalanya sambil menangis, membuatnya tak tahan.

Anak ini benar benar keterlaluan!

"Bryan!..." Fahru tahu tegurannya hanya akan membawa masalah, tapi ia tak bisa diam saja melihat wanita tua itu menangis pedih melihat kerja kerasnya berbulan-bulan dirusak. Terlebih karena semua tahu, dialah nantinya yang akan disalahkan atas semua kekacauan yang dibuat anak Tohar Siranggeng itu.

Bryan mendelik padanya dengan tatapan mengancam agar Fahru tak meneruskan ucapan. Tapi ketidaksopanan anak itu memang sudah tidak bisa ditolerir lagi.

"Sudah! Hentikan sikap kekanak-kanakanmu itu! Kasihan kan, Mbok Semi?!"

Mata Bryan melotot semakin besar. Tapi Fahru menanggapi dengan pandangan santai yang menusuk,

Tetap seperti ini sampai nanti anak itu pergi.

Go... Thunderfly...!! Lintasilah langit...!! (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang