20 # Hani nan wangi

52 17 1
                                    

Sebuah rumah sederhana berdinding bata yang belum diplester tampak sunyi di bagian muka, namun orang-orang yang melintas di jalan kampung di depan rumah itu akan bisa mendengar suara lagu nina bobo dalam bahasa jawa dari seorang anak laki-laki yang sedang menjemur adiknya di belakang rumah.

"Tak lelo, lelo lelo ledung... adhiku sing ayu rupane... menengo aja nangis wae... suk gedhe pinter nyambut gawe.."

Kempling, dengan kulitnya yang keling membalut badannya yang kecil, dan jambul pada rambutnya yang dikeraskan dengan buah kelerak, menggendong adik perempuannya yang masih bayi sambil menyuapkan air tajin.

Sekali waktu ia tak dapat menahan diri untuk melongokkan kepala ke dalam rumah lewat pintu belakang untuk melihat jam dinding yang tergantung di dalam.

Sudah lewat setengah sembilan? Biasanya ibunya pulang pukul delapan dari pasar. Apa hari ini pasar ramai?

Kempling sering prihatin jika melihat ibunya harus pergi ke pasar pada pagi buta untuk menjual sayuran. Apalagi sejak ayahnya meninggal setahun yang lalu, ibu harus menanggung beban hidup ia dan adik perempuannya yang berusia enam bulan. Secara bergantian mereka menjaga Tiwi agar ibu bisa berjualan dan ia bisa sekolah meskipun agak terlambat di pagi harinya.

Ada juga rasa bersalah ketika ia hanya pergi bermain sedangkan sang ibu harus menjaga adiknya di rumah. Barangkali seharusnya ia tetap menjaga Tiwi sehingga ibu bisa berjualan lebih lama di pasar. Tapi jika mereka berhasil terbang seperti yang dikatakan Jo, dan mereka bisa menyelamatkan sekolahnya...

Barangkali ia bisa membawa ijasah SMP untuk bekerja di pabrik atau dimanapun dan membantu ibunya. Sungguh tidak mungkin baginya jika ia harus pindah sekolah. Hanya ini kesempatannya. Satu tahun lagi saja.

Kempling berjalan setengah berlari ke samping rumah ketika ia mendengar suara tek-tek ruji sepeda.

Wanita yang berkulit gelap seperti dirinya tampak sedang menuntun sepeda sepanjang lorong rumah menuju ke halaman belakang. Ada dua keranjang bambu besar yang didudukkan di boncengan sepeda onta itu. Kempling tersenyum lebar saat melihat keranjang-keranjang itu telah kosong.

"Habis dagangannya, Bu?"

"Iya. Diborong sama orang punya kerja. Ibu harus nganter dulu ke tempat mobilnya, jadinya pulang agak siang."

Ibu Kempling menyandarkan sepeda dan meraih Tiwi dari gendongan anak lelakinya. Kempling kemudian menurunkan keranjang bambu itu dan membawanya masuk ke rumah.

Apa sekarang sudah tidak apa-apa kalau dia pergi?

"Tadi saya sudah masak nasi. Ibu makan saja dulu."

"Ya..." jawab sang ibu tanpa mengalihkan wajahnya dari Tiwi. Kasihan adiknya itu. Tiwi tidak akan pernah melihat wajah bapaknya. Hanya Kempling dan ibunya yang tahu bagaimana wajah bapak, dan bagaimana kecelakaan tragis di malam bulan puasa setahun yang lalu merenggut laki-laki yang amat mereka kasihi itu.

Bapak adalah seorang tukang pintu yang mencari pesanan dari rumah ke rumah. Ia bisa membuat pintu kayu, pintu kamar mandi yang dilapisi aluminium, atau kalau ada orderan pintu garasi, ia akan bekerja sama dengan pembuat pintu garasi yang sudah berkawan sejak lama dengannya.

Malam bulan puasa itu, tepatnya hari ke tiga puasa, bapak mengantarkan pesanan pintu pagar besi ulir ke salah seorang pemesannya di daerah Tempel. Bapak berangkat dengan Pak Basuki, yang mempnyai usaha pagar ulir.

Sebelum pergi Bapak sudah mewanti-wanti pada Kempling agar berjamaah sholat tarawih di masjid. Ia harus jadi anak yang baik dan menyelesaikan sekolahnya apapun yang terjadi. Kempling hanya mengiyakan dengan sekenanya waktu itu. Tapi ternyata itu adalah wanti-wanti terakhir ayahnya.

Go... Thunderfly...!! Lintasilah langit...!! (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang