Bab 25 kuat

23.3K 3.5K 100
                                    

"Digerakkan terus ya, biar ototnya lemas. Kaki kamu igu sebenarnya bisa sembuh lagi. Saraf-sarafnya masih bisa berfungsi, hanya saja kamu terlalu takut selama ini untuk menggerakkannya."

Novia menganggukkan kepala saat mendengar penjelasan Dokter Irawan. Pagi ini dia memang sudah berkeringat karena belajar menggerakkan kakinya lalu mencoba berjalan sedikit demi sedikit.

"Baik dok. Jadi di rumah juga boleh?"
Dokter Irawan menganggukkan kepala.

"Bisa, tapi jangan sendiri. Minta Dokter Raihan menemani ya?"

Novia langsung tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Baiklah. Kamu sudah lelah untuk hari ini. Jadi kita akhiri sesi ini ya."
Novia kembali menganggukkan kepala lalu mendorong kursi rodanya sendiri. Saat itulah Rania tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Dokter Irawan. Dia tidak melihat Novia karena hanya fokus kepada pria di depannya itu.

"Dokter maaf mengganggu. Ada telepon dari rumah, di ruang staf. Katanya istri anda tidak bisa menghubungi ponsel anda."

"Owh iya. Ponselku mati batrenya. Terimakasih ya."
Dokter Irawan mengangguk kepada Rania lalu beralih ke Novia yang kini tengah bersiap keluar dari ruangan itu.

"Novia, saya antar ke ruangannya Dokter Raihan sekalian ya? Mumpung searah."

Novia belum sempat menjawab saat tiba-tiba Rania sudah berada di belakang kursi rodanya.

"Saya saja dok. Mari dok."

Novia ingin menolak tapi Rania sudah mendorong kursi rodanya keluar. Membuat Novia langsung menoleh ke belakang.

"Maaf. Saya bisa sendiri."

Ucapannya itu membuat Rania menghentikan kursi rodanya dengan kasar. Membuat Novia hampir jatuh.

"Saya bisa teriak di sini atas dasar melukai orang dengan sengaja."

Ucapan tajam Novia membuat Rania kini bersedekap dan menatapnya kesal.

"Jangan mentang-mentang di atas angin. Aku tahu kamu hanya memanfaatkan dokter Raihan. Aku tidak akan tinggal diam."

Setelah mengatakan itu Rania tiba-tiba melangkah meninggalkannya. Membuat Novia mengusap dadanya dan beristighfar. Karyawan rumah sakit itu sudah lancang kepadanya.

Novia perlahan menjalankan kursi rodanya dengan perlahan. Sampai kapan konfrontasi ini akan berakhir? Akhirnya dia menemukan suatu cara.

*****
"Maksudmu apa dek? Aku gak mau."

Novia kini menatap Raihan yang menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka tengah duduk di bangku kantin. Raihan memang mengajaknya makan di sini. Lalu Novia mengutarakan maksudnya.

"Bukan begitu mas. Tapi kalau tidak dengan cara ini dia akan mengganggu kita terus. Kita harus tegaskan kalau mas milikku dan aku milikmu. Tidak ada yang lain."
Ucapan Novia itu membuat sudut bibir Raihan terangkat. Lalu pria itu tersenyum. Membuat Novia mengernyit.

"Kenapa malah senyum?"

Senyum Raihan makin lebar lalu tangannya terulur untuk mengusap pipi Novia.

"Aku suka istilah kamu milikku dan aku milikmu. Mine."

Tentu saja pipi Novia langsung memerah. Dia tidak sadar mengatakan itu.

"Mas ih. Udah sana telepon Rania dan minta ke sini."

Raihan menghela nafasnya. Rambutnya yang sudah panjang melebihi telinga itu kini tampak begitu lebat. Novia mengulurkan tangan untuk menyibak rambutnya itu.

Pengantin BayanganWhere stories live. Discover now