Bab 19 Bertemu

23.9K 3.8K 159
                                    


Bujukan Raihan untuk melakukan terapi akhirnya disetujui oleh Novia. Meski dia tahu kecil kemungkinannya karena saraf kakinya yang lumpuh sepertinya sudah mati. Tapi apa salahnya berusaha. Dia juga tidak ingin menjadi beban selamanya untuk Raihan. Pria itu sudah terlalu baik dan bersabar kepadanya.

"Kamu di sini dulu ya? Aku tinggal bentar ke poli anak. Nanti satu jam lagi, Dokter Irawan datang kok. Aku udah buat janji."

Raihan kini membungkuk di depan kursi rodanya. Suaminya itu tampak senang saat Novia mengatakan setuju untuk terapi dan mau ikut ke rumah sakit.

"Iya mas. Udah sana tugas dulu."

Novia kini mengulurkan tangan untuk menyingkirkan rambut Raihan yang jatuh ke dahi. Tapi pria itu langsung menarik tangannya dan mengecupnya. Membuat Novia terkesiap dengan sikap romantis Raihan itu.

"Aku tidak akan lama."
Raihan beranjak berdiri lalu mengusap kepalanya sebelum dia melangkah keluar.

Novia menghela nafas dan mengamati ruangan Raihan ini. Semuanya serba putih dan berbau obat. Tiba-tiba dia rindu dengan suasana seperti ini. Dulu, dia selalu antusias tiap kali pergi ke rumah sakit tempatnya bertugas. Sejak kecil dia memang sudah bercita-cita menjadi dokter. Dan saat mimpinya terwujud, dengan sangat bersemangat dia menjalaninya.

Novia kini menjalankan kursi rodanya ke balik meja warna putih yang ada di sudut ruangan. Tepat di depan ranjang periksa yang berseprai putih itu. Novia melihat foto pernikahannya dengan Raihan yang terpampang nyata di atas meja.

Hatinya menghangat melihat itu. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil foto itu. Mereka jauh dari bahagia saat itu. Matanya terlihat sembab karena bertepatan dengan meninggalnya sang papa.

Lengan Raihan yang kuat memeluknya erat. Dulu, Novia membenci pria yang dengan angkuh dan nekatnya menikahinya.

Tapi saat ini, Novia menatap foto itu dia bisa melihat kalau Raihan sedang melindunginya. Tetes air mata tiba-tiba membasahi frame foto itu. Novia terkesiap dan dia segera mengusap air matanya

"Dokter Raihan saya...."
Tiba-tiba suara itu mengagetkan Novia. Dia langsung meletakkan foto itu kembali ke tempatnya dan langsung menatap ambang pintu.

Wanita berpakaian seragam rumah sakit itu kini juga tampak terkejut.

"Owh maaf anda siapa ya? Dan dokter Raihannya mana?"

Wanita itu bertanya dengan ketus dan menatapnya seakan menuduh dia adalah orang asing yang masuk ke dalam ruangan Raihan.

Novia mengusap wajahnya lalu mencoba untuk tersenyum.

"Saya istrinya dokter Raihan. Maaf. Dan dokternya sedang di poli anak."

Jawabannya itu membuat wanita yang sejak tadi memandangnya curiga kini malah menampakkan raut tak suka.

Dia melangkah masuk ke dalam lalu tersenyum sinis.

"Jadi anda istri yang durhaka itu ya?"

Deg

Jantung Novia berdegup begitu kencang saat mendengar ucapan yang menuduh itu. Novia bahkan kehilangan orientasi untuk sesaat.

"Maaf?"

Akhirnya Novia mencoba menegakkan diri. Dia tidak mudah diintimidasi.

Wanita itu kini bersedekap di depannya.

"Asal anda tahu ya, dokter Raihan lebih bahagia saat anda pergi. Anda juga tidak tahu kan bagaimana menderitanya dia saat anda tinggal kabur? Dia sedih tentu saja dan baru saja bisa tersenyum lepas setelah beberapa tahun. Tapi sekarang anda kembali dan membebaninya lagi. Percayalah anda itu egois."

*****

"Dek... ada yang sakit?"

Novia menggelengkan kepala. Dia hanya tersenyum tipis saat Raihan menanyakan itu. Hari sudah malam, mereka sudah kembali ke rumah.

Novia juga tadi sudah melakukan terapi pertamanya. Tapi itu semua dilakukannya dengan gamang. Hatinya terlalu rapuh untuk saat ini.

Bagaimana bisa ada seorang wanita yang lebih tahu dari dirinya sendiri tentang Raihan. Pria tetaplah pria yang tentu saja tidak bisa hidup selibat setelah ditinggal istrinya. Pria itu juga butuh teman. Tapi Novia tidak menyangka kalau Raihan bisa curhat kepada wanita, terutama wanita yang tadi sempat mendatanginya itu.

Novia memang tidak bercerita apapun tentang itu kepada Raihan. Dia tidak sanggup. Bahkan dia tidak berhak marah, karena bagaimanapun juga itu hak Raihan. Hanya saja hati kecilnya menangis.

Raihan kini meletakkan tangannya di kening Novia lalu mengernyit. Mereka sedang duduk di atas kasur. Raihan melepas kacamata bacanya dan meletakkan buku yang sejak tadi dipegangnya ke atas nakas.

"Tapi kamu diam saja sejak tadi."

Raihan kini beralih untuk mengamatinya. Tentu saja Novia akhirnya menghela nafas dan menatap Raihan.

"Mas, kamu punya wanita lain?"

Pertanyaannya itu tentu saja membuat raut wajah Raihan memerah. Novia tahu kalau Raihan marah.

"Apa yang kamu tanyakan?"

Novia akhirnya menghela nafas dan mencoba tersenyum.

"Mas aku ikhlas. Aku gak apa-apa andai saja mas memang punya wanita lain. Semua ini kan salahku. Aku yang memaksa pergi, aku yang meninggalkan mas dan aku yang..."
Ucapan Novia terhenti seketika saat bibirnya tiba-tiba dicium oleh Raihan.

Suaminya itu sudah menarik dirinya masuk ke lingkup tubuhnya dan kini mencium bibirnya dengan intensitas yang dalam. Jantung Novia makin berdegup kencang. Saat gelenyar panas tubuhnya tiba-tiba membuatnya merintih.

Ciuman itu terasa canggung pada awalnya, mencoba meminta ijin untuk mengklaim lebih banyak. Tapi saat Novia tidak menolak, ciuman itu berubah menjadi ciuman yang intim. Sampai akhirnya mereka terengah-engah saat melepaskan diri.

Raihan menyentuh bibir Novia yang terasa bengkak dengan jemarinya. Membuat Novia memejamkan mata.

"Yang aku inginkan itu hanya kamu dek... hanya kamu."

Bersambung

Ah masih sore kok bahas ciuman kaaan jadi pengen...mas bojo mana...wwkwkwkw
Votement yuk ah

Pengantin BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang