4. Queen Of Darkness

Start from the beginning
                                    

"Luar biasa ya pake acara siram-siram?! Kamu tau aku gimana kan, Ra?!" Tepat setelah ucapan itu, tangan Buana melingkar dan mencekiknya, mendorong tubuh Andara terhimpit dinding.

Andara tidak diam. Hubungannya dengan Buana sudah berakhir jadi dia tidak perlu mengalah seperti dulu, tidak ada yang perlu dijaganya lagi, baik perasaan Buana ataupun perasaannya sendiri. Lehernya terasa tercekat dan sulit sekali bernapas. Andara menekuk lutut dan menendang selangkangan Buana hingga cekikan di lehernya lepas dan cowok itu terpekik ngilu.

"Saya tidak merasa kenal Anda dan tidak ingin kenal dengan Anda," ujarnya tegas. Andara tidak peduli ada beberapa mata yang menoleh ke mereka saat sedang lewat. Malu tidak menghasilkan apa-apa dan tidak ada malu dalam kamus seorang Andara, malu hanya membikin seseorang mati.

Andara sempat menoleh ke sekeliling, meneliti apakah Buana mengikutinya. Aman. Cowok itu memilih menyelamatkan masa depannya yang nyaris hilang karena tendangan Andara.

Cuma ditendang, belum dipotong! Andara terkekeh pelan. Dia masuk ke kelasnya dan meletakkan tas, mengeluarkan tugas yang akan dikumpul nanti.

Rupanya Buana benar-benar tidak tahu malu. Cowok yang baru masuk di kelas itu sengaja mengambil kursi tepat di sampingnya, juga menarik kursi itu merapat ke arahnya. Andara melirik gusar, dia hendak pindah tetapi tangan Buana menahan dan sialnya dosen mulai memasuki ruang kuliah.

Andara menyentak tangan Buana pelan agar tidak kentara oleh yang lain. "Ngapain sih lo?" desisnya.

"Masalah?" Buana seakan tidak peduli. Dengan luwesnya dia mengambil kertas polio Andara dan membacanya.

"Buat sendiri! Nggak usah nyontek, Prof. Taufik pasti baca," ujarnya sambil menarik kembali kertas polio.

"Kamu kalau marah tambah cantik."

Jika dahulu kalimat Buana itu dapat meluluhkan hatinya, tidak untuk kali ini. Andara berdengkus kasar. "Makasih! Lo orang ke seribu enam ratus tiga puluh yang ngomong itu ke gue hari ini."

"Kesatunya siapa?"

Pertanyaan Buana malah menimbulkan ide-ide buruk di benak Andara. Dia mengucap asal sebuah nama sambil tersenyum manis. "Kin."

"Dari awal aku udah menduga, kamu memang ada apa-apa sama si Kin-Kin itu." Lirikan Buana terlihat tidak bersahabat. Cowok itu meremas pena yang dipegangnya.

Andara dapat merasakan kemarahan Buana, kemarahan yang membuatnya semakin senang. "Ada apa-apa, kek. Nggak ada apa-apa, kek. Urusan apa sama lo?" bisiknya agar tidak disadari dosen yang lagi berbicara di depan.

"Sebusuk-busuknya bangkai ditutupin bakalan tercium juga."

Tawa lirih Andara terlepas. Kalimat Buana itu cocoknya untuk perilaku cowok itu sendiri, bukan perilaku dia. Dia tidak ada hubungan apa-apa dengan Kin. Dia tidak pernah bermain api seperti Buana dengan Nina. Ternyata bukan cuma cewek yang suka playing victim, cowok juga.

"Nggak ngaca!" Dia meraih semua buku lalu berpindah ke kursi lain yang kosong. Prof. Taufik sedang mengotak-atik laptop sehingga gerak Andara tidak disadari. Dia tidak bisa menghadapi Buana tanpa strategi, yang ada hanya membuatnya emosi dan berbuat gegabah. Andara perlu konsentrasi dan menyiapkan setiap tameng untuk menampilkan kemilaunya di depan Buana. Mantan yang mencampakkan harus dibuat menyesal, bagaimanapun caranya. Orang yang membuang harus tahu artinya kehilangan. Dunia perlu penyamarataan, dan pembalasan adalah salah satu cara menyamaratakan kehidupan.

Setelah kepindahannya, Andara diam-diam membuka ponsel. Dia mengunggah swafotonya bersama Kin di Instagram, di Snapgram, di status WhatsApp. Dia tidak membuat caption panjang, hanya mengirimkan tanda hati di sana dan mematikan kolom komentar.

PEMBALASAN ANDARA [Moving]Where stories live. Discover now