Rino
Bro, si bocah ngadu. Bokap jadi curiga. Minta di hajar tuh Zio.

Raven
kirimin gue waktu dan alamatnya, kita habisin bareng itu bocah.

Rino mengalihkan pandangan dari ponsel untuk menjawab pertanyaan papanya. "New York, Pa."

"Memang Om Affan nggak kasih fasilitas?" cecar Galih.

Rino kembali menoleh kepada Galih, setelah menunggu jawaban dari Raven. "Kasih, kok, Pa. Tapi kan enak kalo pake Rajawali. Nyaman."

Galih melirik cepat kepada putra sulungnya, lalu kembali menatap televisi. "Halah, modus," cibir Galih. "Kamu kerja di sana, kok, pake punya Papa. Pindah ke tempat Papa, baru bisa pake Rajawali," bujuk Galih. 

'Nggak usah pindah juga bisa pake kali, Pa, batin Rino.'

"Nggak, ah. Rino suka di sana. Naik jabatan karena usaha sendiri, bukan koneksi. Nanti kalo Rino udah kuasai bidang ini, Rino bakal geser kedudukan Papa."

Galih terlihat tak terima. "Enak aja main geser. Papa masih ada saham di situ," sungutnya tak terima.

"Lah, kan, emang bener. Siapa yang gantiin kalo bukan Rino? Kanaya? Orang cuma bisa dandan doang dia. Lagian emang kenapa kalo Rino yang gantiin? Rino juga pemegang saham terbesar kedua," debat Rino. "Rino juga bukan orang bodoh yang nggak ngerti di bidang fashion."

Galih mengakui kebenaran ucapan putranya. "Iya ... iya, gitu aja ngegas, kayak ayam baru betelor aja," ledek Galih. "No ... kamu serius?" Kali ini Galih bertanya dengan serius perihal topik yang sangat sensitif. "Ini bukan mainan lho. Papa nggak mau sampai ngaruh ke Mama."

Rino paham dengan peralihan topik bahasan Galih, karenanya ia tak ragu mengiakan. "Serius, Pa, udah separuh jalan ini, masa iya masih main-main," sahut Rino mantap.

Kepala dengan rambut yang masih hitam itu mengangguk. Galih bangkit, tak lupa menepuk bahu Rino dengan ringan. "Bagus." Setelahnya Galih berlalu dengan membawa cangkirnya yang kosong.

Bibir Rino kembali terbelah mengingat kejadian kemarin. Ia merasa takut tetapi tak mengendurkan tekadnya. Ketakutan dan semua bayangan buruknya sirna seiring sambutan yang ia terima.

Rino membuka kembali akun Instagramnya. Melihat komentar dan like di postingan sebelumnya. Hanya ia baca, dan memberi tanda like, tanpa berniar membalas. Ia kembali memasang foto dirinya di acara pertunangan sepupunya.

Adhyastha_zaferino menatap ke depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adhyastha_zaferino menatap ke depan. Sedikit lagi dalam genggaman.

🐊🐊🐊

Senin pagi yang sibuk. Jalan-jalan besar kembali terlihat padat. Aktivitas baru kembali bergeliat. Bunyi klakson yang bersahutan menandakan ketidaksabaran mereka untuk segera bergerak. Begitu juga dengan Mika. Semangat empat limanya muncul ke permukaan. Ia tak sabar ingin segera sampai di kantor dan melihat wajah pria yang ia rindu.

Rindu? Mika memang gila merindukan laki-laki yang takut berkomitmen itu. Tetapi bagaimana lagi? Membencinya juga tidak mungkin, sebab ia sudah tahu risiko yang ia dapat ketika mengambil keputusan untuk menyerahkan tubuh juga hatinya kepada Rino.

Jeda yang membentang selama Rino absen dari kantor, membuat Mika menyadari jika ia benar-benar mencintai pria itu. Bukan karena ia telah menyerahkan tubuhnya, tetapi jauh dalam hatinya ia masih memiliki rasa itu. Rasa yang ia pendam sejak SMA, dan menutupinya dengan dalih tidak suka karena Rino playboy. Menolak pernyataan cinta Rino, sesungguhnya menciptakan lubang penyesalan dalam hati, karena alasan sebenarnya, Mika takut patah hati dan tak bisa bangkit jika mereka berpisah.

Ia tak akan sanggup melihat pria itu dengan yang lain. Terbukti ketika ia melihat Rino dengan Bu Anita. Ia marah dan cemburu, dan akhirnya memicu pertengkaran mereka yang berujung di ranjang. Risiko yang sungguh besar, bukan? Tetapi Mika tak ingin berpikir keras untuk saat ini. Ia ingin memanfaatkan kebersamaan mereka. Ia ingin menikmati pelukan Rino. Sedikit egois untuk dirinya sendiri. Dan jika akhirnya mereka harus berpisah, setidaknya Mika sempat memiliki Rino untuknya, meskipun sulit melupakan pria itu.

"Pagi." Tepukan di bahu Mika membuatnya menoleh, berhadiah senyuman dari rival Rino.

"Pagi, Pak," sapa Mika balik.

Tarikan sudut bibirnya lebar hingga sampai ke mata. "Kelihatannya lagi seneng. Ada apa?" tanya Amri mensejajari langkah Mika masuk kotak baja bergerak itu.

Entah mengapa Mika merasa aman di sisi Amri. Pria ini mampu mengenyahkan rasa canggungnya. "Jelas seneng dong, Pak, kan gajian hehehe," sahut Mika. "Bisa makan nasi lagi dan bye bye mie instant," imbuhnya dengan riang.

Alis sebelah Amri tertekuk mendengarnya, kemudian tertawa geli. "Khas anak kos sekali."

Mika mengiakan ucapan Amri. Ia tak akan berbohong dengan keadaannya. Mika pun merapat ke dinding lift dan bisa menghadap pria itu. "Banget. Orang perantauan seperti kami harus pandai-pandai mengatur uang. Terlebih hidup di kota besar yang apa-apa harus beli dan mahal."

Amri pun memilih menyerongkan badannya menghadap Mika. Tangannya bersedekap di dada tanpa merasa disulitkan oleh briefcase yang Amri pegang. "Tapi menurutku gaji di perusahaan ini bisa dikatakan cukup, harusnya tidak ada masalah, bukan?" ujar Amri kemudian.

Pipi mengembung dan bola mata tersimpan di bawah kelopak, Mika tengah berpikir. "Ya ... cukup kalau tidak ada tanggungan, Pak. Kalau seperti saya yang punya dua dapur, dan biaya pendidikan adik, ya ... harus hemat."

Sedikit bingung dengan jawaban Mika, Amri memberanikan diri bertanya, "Maaf, kalau boleh tahu. Ayah ke mana? Kok kamu yang biayai semua?"

"Bapak sudah meninggalkan karena kecelakaan."

Amri merasa bersalah sebab membuat Mika muram. "Maaf," pintanya.

Mika dengan cepat tersenyum kemudian menggeleng. "Tidak apa-apa, sudah lama juga."

Tak disangka-sangka Amri menarik Mika masuk ke dalam pelukannya, untuk memberi dukungan. "Jangan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu siap kalau kamu butuhkan," bisiknya.

Mika terlalu kaget dengan tindakan Amri, tak otaknya kosong dan tak berkutik sama sekali, sampai pintu lift terbuka dan menyadarkan dirinya. Ia berusaha mendorong tubuh besar Amri namun terlambat.

"Mika!"

🐊🐊🐊

Affair with the Boss (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang