b a g i a n 18

4.2K 454 43
                                    

Sudah 1 jam yang lalu setelah bel pulang berbunyi, Flavia sama sekali tidak berpindah dari posisinya sekarang. Masih menatap langit biru dari jendela tanpa mau berpindah sedikit pun. Sudah 2 minggu setelah hari itu, mereka sama-sama tidak bertegur sapa.

Flavia yang sudah menganggap semuanya sia-sia, dan Zion yang bingung mau menjelaskan darimana. Bahkan Zion tidak tau bagaimana cara menjelaskannya ketika menatap mata indah milik Flavia.

Saat bertemu di koridor pun, Zion lebih memilih memutar daripada harus berpapasan dengan Flavia. Daripada harus menatap mata indah yang kini selalu menampilkan kilatan kesedihan di sana. Zion tidak bisa, melihat tatapan itu saja, membuatnya seperti dihantam batu besar.

"Gue cariin kemana-mana ternyata di sini," Vicky memasuki kelas Flavia yang sudah kosong, duduk di depan Flavia, "ayo pulang."

Flavia tersenyum tipis menatap Vicky. "Gue pulang naik angkot aja Kak."

"Lo kenapa sih? Ini bukan lo banget Vi. Kalian baik-baik aja kan?"

"Kalian?"

Vicky mengangguk. "Lo sama Zion."

Flavia tertawa kecil. "Nggak akan ada kata kalian dalam nama gue sama Kak Zion."

Vicky menghembuskan nafasnya kasar. Ia memperbaiki duduknya, menatap wajah Flavia yang sangat berbeda dari sebelumnya. Bahkan saat latihan kemarin, Flavia sama sekali tidak bersemangat. Padahal jika menyangkut tentang biola, perempuan itu yang paling heboh.

Akhir-akhir ini juga Zion terlihat tidak seperti Zion yang ia kenal. Memang, setiap ke gudang belakang, Zion pasti cuek dan lebih memilih ponselnya daripada berbincang dengan teman-temannya. Tapi kemarin-kemarin Zion terlihat beda.

Apalagi Flavia, Flavia sering menolak ajakan pulang dari Vicky seperti sekarang ini. Karna Flavia tau, Zion yang menyuruh Vicky mengantarnya pulang dan Vicky juga mengambil kesempatan untuk membawa Flavia ke gudang belakang, bertemu dengan Zion.

Pernah satu kali Vicky membawa Flavia ke sana, dengan alasan mengambil kunci motor. Flavia yang biasanya memasuki gudang belakang dengan semangat 45 dan senyuman paling lebar, hari itu, memilih untuk menunggu di luar. Bukan karna ada asap rokok yang memenuhi gudang belakang, tapi karna Flavia melihat Zion yang juga sedang melihatnya.

Saat itu, Zion langsung bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari gudang. Vicky bisa melihat Zion sempat berhenti di depan Flavia lalu kembali melangkahkan kakinya pergi dari sana. Dan setelah itu, sepanjang perjalanan pulang, Vicky berkali-kali melihat Flavia menghapus air matanya dari kaca spion.

"Dari awal lo udah ambil resiko untuk jatuh cinta sama Zion, dan ini yang harus lo hadapin, Zion yang rumit dan penuh teka-teki. Gue harap kalian baik-baik aja," Vicky mengusap kepala Flavia lembut, "gue tunggu di parkiran."

Flavia menatap punggung Vicky yang hilang di balik pintu. Hatinya sedang bimbang karna ucapan Vicky tadi. Flavia bangkit dari duduknya, keluar dari kelas dan menutup pintu kelasnya lembut. Di ujung koridor, Flavia bisa menangkap bayangan cewek itu lagi. Gladys.

Jantung Flavia berdetak kencang, tapi langkahnya tidak mau berhenti menghampiri orang itu.

"Lo—"

Flavia mendengus, ia sudah malas berurusan dengan Gladys lagi. "Udah ah, gue capek. Ambil sana Kak Zion. Dia rumit, penuh misteri! Gila gue lama-lama jatuh cinta sama dia!"

Flavia meninggalkan Gladys yang sedang menga-nga karna ucapan Flavia tadi. "Padahal gue mau minta maaf sama dia."

Gladys menghampiri Flavia, menghalangi jalan perempuan itu. Sementara Flavia menghela nafasnya. "Mau apa lagi sih lo? Nggak capek apa gangguin gue? Udah sana ambil aja Kak Zion! Jatuh cinta sama dia ribet! Banyak sakit hatinya!"

-ZWhere stories live. Discover now