6.

3.2K 779 44
                                    

"Nyantai, Bang. Bos gue oke sama ruangan itu," kataku pada orang di seberang telepon. Siapa? Mesti banget dijawab Jeffri Nichol? Ya kagaklah. Aku sedang melaksanakan amanah Bang Ikmal yang meminta diinfokan soal kesan bos pas lihat hasil dekor ulang.

"Cer, lo yakin dia OK?"

Bang Ikmal yang biasa lempeng berubah melempem. Benar-benar menyebalkan. Tingkat nggak percayanya sama kayak netijen lambe yang nggak percaya sama konfirmasi permohonan maaf para pelaku tindak amoral yang viral di media.

"Tenang, Bang. Bos gue muji ruangan itu bagus dan bilang makasih..." ke Queen. Aku menelan penjelasan itu bagiku saja. Jangan bikin Bang Ikmal bertambah menyebalkan.

"Bang, ruangan itu bagus. Anti mainstream kayak tingkat kemiringan bos gue. Demi apa, gue harus banyak istigfar kalo ingat gimana dia membanggakan si Ratu Lebah karna sukses ambil proyek Cibubur padahal proyek itu dikerjakan Mas Izhar dan yang lain. Lebah betina itu nongol saat progress 80 persen dan nama dia yang diapresiasi. Jadi, jangan khawatir, Bang. Ruang kramat nggak menimbulkan huru-hara. Bos gue terima dan potensi betah di situ. For your information, dia belum keluar dari sana sejak masuk. Bahkan dia makan siang di dalam. Itu indikasi seleranya sama kayak adiknya. Lo bisa santai sekarang," lanjutku berusaha memompa kepercayaan diri Bang Ikmal. Dia itu pekerja seni. Desain interior masuk seni, kan? Sayang jika bakatnya harus terpendam PD pasca dekor ruangan kramat.

"Gue masih belum yakin. Ruangan itu kelewat sederhana dan sekarang berubah total. Citra ruangan itu jauh, seribu persen beda, dan gue pikir nggak sesuai dengan citra ruangan yang sebelumnya." Bang Ikmal masih ngeyel.

Aku geleng-geleng sambil menatap hiruk-pikuk jalanan dari jendela lantai sebelas. Susah banget kerja jadi seorang pekerja seni semacam Bang Ikmal. Di satu sisi dia menjalankan mandat, di sisi lain mempercayai jiwa seninya yang kelewat sensitif. Kalau aku mah mana mau peduli. Hidupku hanya berkutat di lingkup data absen, request barang, input gaji, dan pulang. Bukan bongkar pasang isi otak demi mencapai hasil artistik.

"Bang, ruangan kramat sekarang punya citra yang lebih baik. Gue serasa masuk ke dimensi Doraemon. Teknologi hi-tech yang salut banget bisa lo adopsi ke situ. Bos gue sekolah dan tinggal lama di negara keep moving forward, so gue yakin citra ruangan yang sekarang mewakili kemajuan dirinya. He accepts that room unless he's a narrow minded person."

Terdengar suara hela napas berat di ujung sana. Aku yakin Bang Ikmal masih berat percaya. Aku sih sudah seratus persen percaya bos besar oke-oke saja. Ruangannya nggak buruk. Toh yang kerja di situ bos nomor satu. Kalau yang berkuasa Mas Izhar baru namanya tabrak lari. Ruangan bergaya masa depan ditempati orang dari masa lampau.

"Fine. Gue percaya. Thanks infonya, Cer. Sorry buang waktu lo."

"Never mind, Bang. Gue suka bantu lo."

"Anjrit, omongan lo berasa kayak gue lagi digombalin."

Tawaku muntah seketika. Bang Ikmal memang sering asal komentar dan cenderung polos, gimana nggak bikin gemas, coba?

"Gue emang lagi prospek lo," aku menggigit bibir bawah sambil menahan tawa susulan, "ada niat ajak saya ke jenjang lanjutan? I'm recommended to be your one and only."

"Jijik, Cer. Gue nggak biasa nerima gombalan cewek apalagi yang kayak lo. Sudah, gue tutup. Makasih sekali lagi." Sebelum sempat merespons balik, Bang Ikmal menutup panggilannya.

Aku tersenyum memandangi layar ponsel yang menggelap. Ruang kramat telah membuat sensitifitas Bang Ikmal tergoyahkan. Seharusnya ruangan itu dirombak sejak lama jika ingin menunjukkan prestige pemilik perusahaan ini. Agak disayangkan Queen baru hadir dan berani ambil langkah kontroversial. Kalau ingat beberapa hari lalu aku dan Mas Izhar masih diliputi kekhawatiran bos nomor satu nan maha benar itu marah, aku jadi ingin tertawa. Hah, Mas Izhar terlalu cemas. Kan sudah aku katakan bahwa Queen itu pawang kemiringan bos besar. See, we're fine.

***

Karyawati di perusahaan jumlahnya hanya tiga. Aku, Tata, dan Mbak Kayla. Kami biasa berpapasan di lobi gedung saat pagi hari. Namun hari ini agak beda, Mbak Kayla menggiring aku dan Tata ke toko roti di lobi yang punya kopi juara.

Kami akhirnya duduk di sofa toko dekat jendela besar yang menghadap pintu masuk gedung. Di atas meja, ada tiga gelas caramel macchiato beserta satu keranjang rotan berisi roti dan croissant. Mbak Kayla yang traktir dan kami nggak perlu kejeniusan untuk menemukan alasan Mbak Kayla ingin berlama-lama dengan kami di luar suite perusahaan.

"Lo ngerasa timing Aga balik ke Indonesia dekat banget sama momen Queen join perusahaan?" Mbak Kayla angkat topik utama dan aku mengangguk menyetujui.

Tata yang kebanyakan mengonsumsi harlequin menunjukan dampak bacaan lewat ocehan, "Lo ngerasa juga Mbak kalo Pak Aga tambah ganteng aja? Body-nya tambah berotot dan gue suka potongan rambut dia sekarang. Lebih pendek, lebih rapi."

"Waktu rambutnya sebahu dan diikat setengah, lo bilang hal yang sama juga, Tata." Mbak Kayla menggeleng.

Ya, beginilah dampak bekerja dua tahun bersama rekan kerja kurang dari sepuluh, kami mudah mengingat ucapan unfaedah rekan lain yang sudah lewat beberapa bulan bahkan dua tahun lalu.

"Waktu itu Pak Aga lebih muda-"

"Sekarang dia tua?" Sela Mbak Kayla sambil mengulum senyum geli.

"Setiap orang tambah tua sih." Tata berberat hati mengakui. Tapi dia tetap bersemangat mengajukan pendapat. "Pak Aga tambah tua pun tetap ganteng. Gue harap gue bisa lihat dia pakai suit lagi. Benar-benar memunculkan aura hero dalam novel."

Aha! Kubilang juga apa. Tata nggak akan kuat menahan imajinasi yang tak lain dampak menghayalkan novel dewasa.

"Bukannya gitu, Mbak." Tata meminta dukungan Mbak Kayla karena sudah membaca ekspresiku yang nggak minat pada penilaiannya.

"Iya." Mbak Kayla ambil jalan aman. "By the way, gimana ruangan kramat? Bos suka?"

"Aman," jawabku pongah.

"Izhar memang berlebihan. Dia terlalu parno Aga akan ngomel begitu lihat ruangan itu diubah."

"Karena Queen yang mengusulkan dong," timpalku bersemangat.

"Jadi cungpret emang paling benar setuju saja perintah bos kalo Queen yang menempati posisi itu." Mbak Kayla memutar bola mata.

"Kenapa?" Aku dan Tata bertanya berbarengan.

Tepat saat itu Mbak Kayla menerima pesan di ponselnya dan mengacungkan telapak tangan pada kami. Setelah berkutat dengan ponselnya dan sedikit mengumpat, dia berbicara, "Gue dicariin Ratu Lebah. For your topic in cubicle, she's amazing." Mbak Kayla menutup ucapannya dengan seringai dan kami tergelak.

Mbak Kayla pamit duluan. Disusul Tata yang melihat Dirga lewat depan toko. Aku bertahan lebih lama di sana menghabiskan isi keranjang rotan dan caramel macchiato untuk asupan energi lahir bathin di kantor. Kita nggak pernah tahu kapan bos berniat menyedot stamina dan kewarasan, kan?

"Ceri," Mas Izhar menyapaku pagi ini dengan wajah masam. Aku yang datang tepat waktu, di pukul delapan kurang 20 detik merasa janggal. Aku belum menyentuh angka delapan saat fingerprint, so aku belum terlambat.

"Selamat pagi, Mas Izhar. Apa kabar? Ada gerangan apa dikau menantikan aku sepagi ini?" Aku yang nggak bisa duduk di kursi kerjaku yang dimonopoli Mas Izhar terpaksa berdiri dan menautkan kedua tangan di depan badan selayaknya anak baru yang polos dan takut senior.

"Lo dipanggil bos," jawab Mas Izhar sembari berdiri.

"Bos mana, Mas?" Helo, kami punya dua bos sekarang. Kalau dulu, kata bos mengacu pada Pak Aga. Sekarang ada Queen dan mereka berdua kerja di kantor. Lagipula dalam bahasa Indonesia nggak ada pembedaan gender dalam penggunaan kata, let's say bos dan boswati atau kamu (untuk pria) dan kamyuu (untuk wanita). Wajar aku tidak bisa membedakan yang mana yang dimaksud Mas Izhar.

"Pak Aga nunggu lo di ruangannya," Mas Izhar menunduk dan menegaskan kelanjutan informasinya, "se-ka-rang!"

Penting ... banget?

###

29/03/2020

😪😪

How Could I Possibly Go Wrong?Where stories live. Discover now