1.

10.8K 1.3K 72
                                    

Nikah bukan solusi masalah
ーCeriー

Aku golongan kecil jomlo sejak lahir yang memegang prinsip 'nggak pacaran sama rekan kerja'. Alasannya receh, kalau mau jelalatan ke klien kece bisa terdeteksi radar mercusuar pacar. Nggak banget.

Berkeras pada prinsip itu, aku turut bertahan pada status 'unexperienced dating partner'. Ketika ada yang mendekat, aku yang dasarnya belum berpengalaman seringkali menyebabkan kekacauan. Misalkan membaca kode 'mo mampir ke kost aku sebentar'. Lalu berakhir ke pertengkaran karena yang diharapkan cowok itu di dalam kost-nya berbeda dengan apa yang menggantung di kepalaku.

Aku besar bersama pengalaman orangtuaku yang kolot. Berkencan harus izin orangtua dan pulang tak lebih dari pukul delapan malam, itu pun orangtua harus memegang nomor hape teman kencanku. Jadi terbayangkan betapa sulitnya aku memahami pria. Pengalamanku, pelajaran orangtuaku, dan perkembangan otak pria masa kini saling bertubrukan. Lagi-lagi, siang ini aku harus menerima kenyataan pedekateku failed.

"Malam minggu jalan ke Bellagio, yuk," ajak Tata, resepsionis sekaligus sekretaris bos besar. Pekerjaan kami memang begini, serba merangkap, serba label multitasking.

Tata bisa seenak jidat mengajakku jalan keluar tanpa perlu cek penampilan. Sebut saja waterproof lipstick, bulu mata palsu anti PHK, alis menggelegar, dan BB cushion harga jutaan yang memoles lekuk wajahnya. Di tempat berbeda, aku, ya aku Ceria Triananda Fitri ini. Boro-boro menghayal BB cream, CC cream, dan DD cream jika wajah rakyat jelata ini hanya cocok berdampingan bedak tabur khusus baby. Tahu, kan, dampak bedak tabur baby nggak akan sampai sepuluh menit, wajah bakal kembali ke rona aslinya slash kucel. Berharap menambah cantik dengan memakai lipstick pun aku ragu karena bibir tebalku susah diajak kompromi. Terlalu merah, bisa dikira habis tersengat lebah. Terlalu pucat, dianggap sakit karena tone kulit wajahku yang putih. Warna matte malah menguatkan kesan diriku habis filling bibir. Oleh sebab itu, aku hanya membiarkan bibirku merah apa adanya.

"Don't count me in," jawabku sembari balik menekuni email bos maha benar yang membombardir sejak semalam. Bos besar kami itu tipikal pekerja tak biasa. Bekerja di jam-jam karyawannya sedang lelap tidur. Bukan tanpa alasan. Dia bekerja dari apartemennya yang nun jauh di LA sana. Rentetan tugas dan konfirmasi proyek biasa kami dapatkan esok pagi, sebaliknya kami mengirim seluruh berkas yang perlu diperiksa beliau di sorenya. Wajib sore! Why? Sederhananya, bos maha benar kami biasa online di pukul tujuh malam waktu Indonesia Barat, which means siang hari di sana. Dia akan mengajak karyawannya yang ketahuan masih online untuk diskusi kerja by email dan itu berarti... cecaran lebih banyak pekerjaan. Kami sepakat menolak pulang telat, kecuali urgent.

"Masak gue ngemol sama Dirga lagi! Bosen banget ya, Tuhan!" Lenguh Tata.

Nah, inilah asal-muasal aku ogah pacaran sama teman satu kantor. Nasibnya persis Tata. Weekdays ketemu, weekends ketemu. Sebelum bobo chatting Dirga. Bangun tidur telepon Dirga. Di kantor, sarapan bareng Dirga. Makan siang, pulang, duh nggak usah ditanya, semuanya bareng Dirga. Suntuk banget intensitas pertemuan yang seperti itu.

"Kalo bosen sama Dirga, boleh oper sini," godaku. Dirga masuk dalam jajaran pekerja bawang, gaji bangsawan. Siapa yang nggak tergiur, ditambah fakta wajah Dirga yang mirip-mirip Maxime Bouttier. Yea, kecuali perutnya yang agak mencuat nakal itu.

"Enak saja. Sana goda Mas Izhar."

"Mas Izhar sudah dapat calon asal kampungnya. Jangan nawarin yang aneh-aneh deh. Lo udah sering ngemol, ngapain sih ngemol melulu?"

"Mbah agak-agak miring nyuruh gue menghitung prospek membangun agrowisata di Sukabumi. Kebanyakan uang, sampai bingung dia mau dialirkan kemana lagi." Keluhan-keluhan Tata adalah camilanku. Bukan. Keluhan semacam itu merupakan camilan semua karyawan di sini yang totalnya tujuh. Keluhan serupa sudah sering kami dengar dan sering pula dialami sendiri. Kecuali aku. How lucky me, yups. Sebagai admin payrol serta GA, aku tidak perlu banyak bersinggungan dengan bos maha benar. Kecuali tiap gajian dan membuat PRF keperluan kantor. Sisanya, hari-hariku cukup tenang dari segala keanehan bos besar kami. Oh, apa aku tadi bilang bos kami memborbardir emailku? Jangan khawatir. Dia hanya sedang resek karena mempersiapkan tempat kerja bagi adiknya, si penerus nomor dua kerajaan. Adik perempuannya akan bergabung bersama kami mulai bulan depan. Itulah alasan bos maha benar perlu memastikan segala fasilitas untuk adiknya lengkap. Bahkan aku diminta membuat kamar mandi pribadi dalam ruang kantor adiknya dengan jacuzzi.

Ingin sekali aku katakan, perlu salon dan tenaga professional sekalian? Atau kita pindahkan Galeries Lafayette ke sini saja?

Karyawan pria menantikan adik bos maha benar yang digadang-gadang cantik. Aku dan Tata khawatir adik bos besar sama miringnya dengan si kakak.

"Gue rasanya mau banget resignー"

"Terus nikah?" potongku cepat saking hapalnya dengan penutup keluhan Tata. "Nikah bukan solusi masalah, my dear Tata. Lo berumah tangga untuk memulai episode baru hidup lo, bukan berarti lo meninggalkan masalah lo semasa melajang. Bedanya lo punya partner diskusi buat ambil keputusan. Coba deh pola pikirnya jangan dibuat sama kaya cabe-cabean. Capek nih Pevita Pearch dengar keluhan begitu."

"Sok oye, lo!" Tata menempeleng pelan kepalaku. Kebiasaan banget perempuan satu ini memakai tangan pemberian Tuhan untuk aktivitas yang menimbulkan kemarahan.

"Tolong, ya, tangannya diedukasi. Pakai tangan tuh buat makan, buat sayang-sayang, nggak usah buat pukul kepala orang," omelku.

"Duh, marahnya anak gadis bikin gemes. Gue biasanya pakai tangan buat sayang-sayang kejantanan Dirga. Boleh banget, kan?"

"Kampret! Pergi sono!"

Tata meninggalkan mejaku membawa tawa bahagia akibat sukses mengangkat topik yang anti banget aku dengar. Bukannya jijik, atau sok naif. Aku besar di lingkungan kerja yang didominasi pria matang usia pertengahan tiga puluh. Topik demikian kental banget di sini. Tapi aku yang memilih menutup akses itu. Selagi bendera lajang masih berkembang, pantang aku mengikuti arus teman yang senang obrolan panas mengundang.

Ini soal kesadaran diri, sih. Bukan sok idealis demi pencitraan.

"Ceri, bos lo nyuruh lembur nanti malam," kata Mas Izhar dari balik dinding kubikelnya. Aku hanya dapat melongok matanya yang terbingkai kacamata.

"Buat apa?" Tanyaku antisipasi. Di sini yang langganan lembur itu Mas Izhar dan Dirga, selaku ujung tombak ketemu client.

"Adeknya mau ke sini, pindahin barang. Kata bos, adeknya siap kerja minggu depan."

"Kan bulan depan," sanggahku nggak terima adik bos muncul lebih cepat.

"Cek kalender dong," seloroh Dirga dari kubikel sebelah Mas Izhar. "Minggu depan udah masuk tanggal satu, Cer. Wajar adek bos masuk kerja."

Aku menyambar kalender di atas meja dan mengumpat kecil. Saking banyaknya perhitungan lembur masuk ke gaji, aku sampai lupa minggu depan sudah masuk tanggal satu.

"Mas, bikin alasan biar adiknya bos masuk dua minggu lagi, dong," rengekku.

"Ada masalah?" Mas Izhar lantas berdiri dan bertopang lengan ke dinding kubikelnya yang berseberangan meja kerjaku.

Aku menggeleng sambil mengerucutkan bibir. Masa bodo jika tampangku makin mirip bebek habis filling atau bekam mulut. "Ojie nggak masuk hari ini, ruangannya belum dibersihin."

"Yassalam. Masalah itu doang?"

"Cek sana kalo mau tahu detailnya." Aku menunjuk ruangan bos nomor dua menggunakan dagu. Mas Izhar yang terlanjur berdiri, lantas menuju ruangan itu dan memeriksanya.

"CERI, KENAPA BANTAR GEBANG PINDAH DI SINI?"

Kan, dibilangin nggak percaya sih?

###

27/03/2020

Mungkin ada yang pernah baca ceritaku ini di Storial, tapi ga aku lanjut di sana 😚 jadi aku publish di sini aja dalam momen #dirumahaja

Seneng duonks??

How Could I Possibly Go Wrong?Where stories live. Discover now