十五 | That Guy Who's Sitting On The Chair

Start from the beginning
                                    

Tari Legong yang sedang gue tonton saat ini adalah tari klasik dari Bali yang dikembangkan di keraton-keraton pada abad ke-19. Kata Legong sendiri berasal dari "Leg" yang berarti gerak tarinya luwes atau lentur, dan "gong" yang berarti gamelan. Legong dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.

Konon katanya ide tari Legong berasal dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit, bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi alunan musik gamelan. Begitu sang pangeran sembuh, ide dari mimpinya dituangkan dalam bentuk tarian Legong.

Tak hanya tari Legong yang disajikan. Akan tetapi tari Barong juga turut mengisi acara malam ini. Tari Barong sendiri mempunyai makna sejarah. Tari ini memiliki khasanah pra Hindu. Dimana kebajikan (dharma) melawan kebatilan (adharma). Di dalam tari Barong, kebajikan atau pihak baik digambarkan sebagai Barong, hewan buas berkaki empat yang dikendalikan oleh dua orang penari. Sedangkan pihak jahat digambarkan sebagai Rangda, perempuan jahat yang memiliki dua taring besar di mulutnya. Tarian ini selain bersifat sakral, juga bisa sebagai hiburan masyarakat.

Lama menonton acara pertunjukan itu, akhirnya usai juga. Para penari beserta pemain alat musik undur diri. Kita semua pun membubarkan diri masing-masing. Haruto berdiri duluan lalu mengulurkan tangannya ke gue. Lantas gue raih tangannya dan berdiri dengan bantuan Haruto.

"Mau pulang atau mau cari makan?" tanya Haruto setelah gue menepuk pantat agar tidak kotor. Kita kan duduk di lantai. Banyak orang sudah berlalu lalang melewati tempat ini tadi.

"Memang jam berapa sekarang?" gue malah balik bertanya. Haruto melihat jam tangannya.

"Jam sembilan lewat sepuluh menit. Gimana? Lo laper gak?" tanya Haruto lagi.

Kalau ditanya lapar tidak, ya pasti gue jawab iya. Gue tadi cuma makan nasi goreng sepiring. Porsinya sedikit karena gue mual dari tadi. Kayaknya gue masih masuk angin. Gue kemarin jalan-jalan di sekitar Ubud sampai malam tanpa jaket. Itupun selain jalan malam, gue masih mencari makanan bareng Haruto.

"Boleh. Tapi dibungkus aja ya? Aku gak enak badan." jawab gue jujur. Haruto langsung terlihat khawatir.

"Masih mual ya? Apa lo balik ke homestay aja sementara gue yang cari makan?" Haruto menawarkan opsi.

Gue pengen balik. Tapi nanti kasian Haruto. Dia sendirian. Gue kesini bareng dia, masa pulangnya sendirian?

Gue pun menggeleng, "ikut aja deh, To. Gapapa kok."

"Yaudah, ayo."

Akhirnya gue meninggalkan Puri bersama Haruto. Kita berdua bergegas mencari warung yang masih buka di jam larut seperti ini.


Namun entah kenapa, angin malam berhembus lebih dingin seolah menyuruh gue lekas pulang.

— Nebula —

Sebungkus nasi, mi goreng dan telur dadar, rasanya tidak terlalu buruk untuk disantap di malam larut seperti ini. Meskipun akan banyak argumen betapa tidak sehatnya makan karbohidrat dan lemak yang terlalu banyak pada malam hari. Alasannya paling utama mungkin, pastinya bakal bertambah gemuk.

Tapi siapa peduli? Gue lapar dan butuh makan. Dari pada gue cuma minum air? Toh ya kalau gue gemuk karena makan karbohidrat dan lemak berlebih, bakal kiamat begitu? Heol.

Gue malah akan bersyukur bisa memiliki badan yang berisi. Tidak akan terlihat kurang gizi atau cacingan.

Sekarang, gue masih berjalan beriringan dengan Haruto setelah membeli makan di sebuah warung kecil yang masih buka. Di bawah langit hitam kelabu karena sang bulan masih bermain di balik awan, suara jangkrik dan kodok dimana yang seolah terdengar mereka sedang berkomunikasi tentang rencana berpetualang esok hari, dan keheningan di antara kita berdua—menemani kita saat ini.

[1/2] Nebula ✖ Lee Felix (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now