Meski terlihat gelisah, Gilang mengangguk. Dia menyerahkan pistol biusnya. "Untuk jaga-jaga."

Kalea melangkah mengikuti Irjen Marini. Melewati pintu baja yang membelah terbuka. Empat penjaga mengawal mereka. Tak lama kemudian sampai di lapas level satu, khusus tahanan baru dengan vonis seumur hidup.

Jeruji besi berderet di sepanjang lorong. Kalea tak menoleh tapi ekor matanya melihat orang-orang di dalam sel. Hanya ada kasur dan kloset. Dinding antar selnya setebal dua puluh sentimeter. Beberapa narapidana duduk di kasur atau bergumam dengan tangan sendiri. Beberapa lainnya berdiri dekat dengan jeruji. Mata mengikuti Kalea.

Kenangan saat dirinya diseret di lorong Akademi pun menggema. Membayangkan seperti inilah dirinya jika masuk Pengasingan, mungkin lebih parah. Dia pun mengerjap.

"Aku sudah dengar soal para Saberion," kata Irjen Marini. "Kau tak tertarik mencoba? Alat itu bisa... kembalikan ingatanmu dan Zidan soal kehidupan sebelum Akademi."

Kalea melemas. Sudah lama ia tak memikirkan itu. Terlalu sibuk oleh kehidupan membuatnya terlupa ada sembilan tahun memori masa kecilnya yang hilang. Saat pertama tiba di Akademi semua kadet tak ingat apa-apa soal kehidupan sebelumnya.

Dia hanya ingat punya Zidan. Itu saja.

"Entahlah," jawabnya. "Kakakku bilang beberapa hal lebih baik dilupakan."

Mereka sampai di ujung lorong. Para penjaga pun pergi. Irjen Marini membuka pintu besi berkarat itu. Di baliknya garis-garis laser merah bersilangan memenuhi ruangan. Dia mengangguk ke CCTV di atasnya, laser pun padam. Terdapat pintu lagi, kali ini semacam lift berdinding kusam. Layar semu terpasang di bawah barisan tombol.

Dia menaruh tangan di atas layarnya. Cahaya hijau muncul, memindainya. Perlahan lift turun. Ding! Lima lantai kemudian berhenti di hadapan sebuah lorong berlapis besi. CCTV terpasang dekat lampu dan lantainya dihiasi titik-titik merah. Itu pemindai gerak. Semua geraknya diawasi.

"Selamat datang di level Luar Biasa," kata Irjen Marini di tengah debum hak sepatunya. "Mereka di sini bukan manusia biasa. Sangat berbahaya. Sebagian tidak berwujud manusia lagi."

Kalea mengangguk, ngeri. "Makasih, Tan, infonya."

Terdapat kode di setiap pintu sel, berupa huruf dan angka petanda kapan tahanan datang. Kalea menemukan pintu kode XP3-07251980. Tahun 1980? Setau Kalea lapas ini baru beropreasi dua dekade terakhir. Entah siapa di dalamnya.

Mereka sampai di ujung lorong, pintu berkode XP9-12052027. Ada pintu besi dengan setir pengunci di tengah. Irjen memutar setir pengunci dan pintunya terbuka. Decit besinya membuat Kalea merinding.

"Silakan, Nak, bujuk dia keluar," katanya. "Kutunggu di sini."

Kalea memasuki ruangan gelap berbau besi campur apek ini. Bruk! Mengejang saat pintu besi membanting menutup di belakang.

Sejenak, tak ada yang terjadi. Hingga Kalea melihat bulatan cahaya merah tak jauh di depan. Terdengar desing besi pelan seiring ia bergerak ke kiri dan kanan. Kalea mendekat, menyadari cahaya merah itu adalah... sebuah mata.

"Hati-hati," kata suara agak kerobot-robotan. "Semua berawal dari tatap."

Kalea tetap tenang. "Hai, Arda. Aku—"

Ding! Lampu menyala. Terlihat dinding putih kusam di sekelilingnya yang dipenuhi kerikan. Kerikan gambar rumah, matahari dan pepohonan. Terdengar dengung pelan dari dindingnya, seperti dialiri listrik. Di sisi ruangan ada kasur, kabel nampak terhubung dari bagian bawah kasur, ujungnya seperti suntikan.

Anehnya, tak ada siapa pun di depannya. Cahaya merah itu hilang.

"Mencariku?"

Kalea mengejang, berbalik, menyiagakan tangan ke depan yang sudah dinaungi kilat perak. Nampak laki-laki itu bersandar ke pintu sel.

GARDA - The SeriesWhere stories live. Discover now