Chapter 4

6.7K 1.1K 41
                                    

Waktu hampir menunjukkan pukul sebelas malam ketika Jungkook berhasil menginjakkan kaki di apartemen barunya. Setelah memencet tombol angka delapan, Jungkook berdiri dengan tenang menunggu kotak besi yang ditumpanginya menuju lantai tujuannya.

Diam-diam ia melirik pantulan dirinya sendiri dari kaca di sisi lift. Jungkook tersenyum senang, menatap bangga ke arah wajahnya sendiri. Tanpa malu ia mengagumi ketampanan yang ia miliki, sekaligus otak cerdas yang membuatnya berhasil mendapatkan kehidupan yang ia impikan.

Mobil, apartemen, jabatan tinggi, dan uang. Semua itu bisa ia dapatkan dalam waktu yang singkat. Tidak peduli walaupun harus sedikit mengorbankan perasaan Airin, setidaknya Jungkook berhasil mendapatkan yang ia mau.

Sedikit lagi saja aku menunggu, maka aku benar-benar bisa menyingkirkan Airin dari kehidupanku tanpa perlu rasa bersalah.

Suara lift yang berdenting berhasil menyadarkan Jungkook dari lamunannya. Ketika pintu besi itu mulai bergerak ke arah yang berlawanan, Jungkook pun mulai melangkahkan kakinya.

Mendadak langkahnya terhenti ketika nyaris mendekati pintu bernomor sembilan ratus lima—kamar apartemennya. “Song Airin?”

Jungkook terkejut bukan main ketika mendapati Airin benar-benar tengah berdiri di depan pintu apartemennya. Gadis itu mendadak melebarkan senyum lega. “Ah, ternyata ini benar-benar unit apartemenmu? Kupikir aku salah karena aku sudah menunggu lama.”

“Dari mana kau tahu apartemenku?”

“Ah, sebenarnya aku bertanya pada petugas jasa pindahan yang datang ke flat. Aku berbohong dan berpura-pura ingin mengantarkan barang milikmu.”

Jungkook menarik napas jengah. Kepalanya mendadak mulai terasa mendidih oleh emosi yang kian memuncak. Ia mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. “Aku sudah bilang untuk tidak ikut campur. Kenapa kau selalu saja keras kepala?!”

Airin menciut takut. “Kenapa kau marah? Apa aku tidak boleh tahu di mana kau tinggal?”

Jungkook terdiam mengamati gerak-gerik Airin. Sementara gadis itu masih menunduk takut sembari memainkan ujung bajunya asal-asalan. “Sekarang, ayo, masuk.”

Setelah menekan empat digit kode pengaman, Jungkook mempersilakan Airin untuk masuk lebih dulu. Gadis itu memasuki apartemen Jungkook dengan pandangan kagum. Kedua matanya bergerak ke sana kemari, terlihat antusias mengamati setiap dekorasi di dalam ruangan tersebut.

“Apartemenmu bagus sekali.” ucap Airin sembari tersenyum senang. Kedua tangannya tak henti-hentinya menyentuh dinding yang dilapisi wallpaper berwarna krem. “Apa kau punya banyak uang untuk menyewanya?”

“Aku memiliki cukup tabungan untuk menyewa tempat ini. Kupikir aku bisa sembari melunasinya dengan gaji baruku.”

“Apa kau sengaja menyewanya untuk mempersiapkan tempat tinggal baru kita?”

“Apa?” Jungkook terlihat tak mengerti dengan ucapan Airin.

“Kau pasti sudah memikirkan tempat tinggal baru yang lebih luas setelah kita menikah. Terima kasih, Jung. Kau sangat pengertian.”

Jungkook hanya terdiam di tempatnya. Kali ini ia sama sekali tidak berminat untuk mengoreksi perkataan Airin. Ia sengaja membiarkan Airin hidup dalam angan-angannya, tanpa perlu mengetahui yang sebenarnya.

“Mandilah lalu pergi istirahat. Malam ini kau tidur di sini, tapi besok pagi kau harus segera kembali ke flat.”

“Kau sudah makan, Jung? Mau kubuatkan sesuatu?”

“Tidak perlu. Aku akan pergi membeli makan malam di luar. Jangan coba-coba keluar selama aku pergi.” Airin masih bergeming di tempatnya memperhatikan Jungkook yang melangkah pergi dan menghilang di balik pintu yang tertutup.

Kenapa aku merasa kalau akhir-akhir ini Jungkook berubah? Aku seperti tidak mengenalnya.

...

“Total pesanan anda dua belas ribu won, Tuan.”

Jungkook segera merogoh dompet di dalam saku celananya ketika pelayan kasir menyebutkan total harga pesanannya. Ia menyerahkan sebuah kartu kredit berwarna biru tua pada pelayan tersebut, sementara matanya terfokus pada ponselnya yang mendadak menyala.

Sayang, kau di mana? Apa aku harus datang ke apartemenmu?

Satu pesan dari Seojin mampu membuat Jungkook berdecak cemas. Ia pun buru-buru menggerakkan kedua ibu jarinya dan membalas pesan singkat tersebut.

Maaf, Seojin. Sepertinya hari ini aku tidak bisa menemuimu. Airin mendadak datang ke apartemenku.

Silakan pesanannya. Selamat menikmati.” kepala Jungkook lantas kembali terangkat ketika pelayan itu menyerahkan kantong plastik miliknya. Ia segera menyimpan kembali ponselnya dan berjalan keluar dari restoran menuju tempat mobilnya terparkir.

Jungkook mendadak menghentikan langkah ketika ia menyadari kunci mobilnya tidak ada di dalam saku celananya. Ia berdecak kesal ketika terpaksa harus kembali ke restoran demi mencari keberadaan kunci mobilnya.

“Maaf, tapi sejak tadi kami tidak melihat ada kunci mobil yang tertinggal. Silakan tinggalkan nomor telepon anda, akan segera kami hubungi kalau kami menemukannya.”

Kedua lutut Jungkook terasa lemas bukan main ketika ia benar-benar kehilangan kunci mobilnya. Ia kembali melangkah keluar dari restoran dengan tampang muram, sesekali ia masih terus menunduk berharap barangkali bisa menemukan kunci mobil miliknya.

“Sial. Seojin pasti marah karena aku tidak menjaga hadiah pemberiannya dengan baik.” Jungkook mengumpat frustasi. “Aku harus bagaimana?”

“Permisi.” suara seorang pria tiba-tiba saja menyapa indra pendengaran Jungkook. Tanpa minat Jungkook menoleh ke arah pria dengan topi hitam di kepalanya.

“Sepertinya anda kehilangan sesuatu. Apa kunci mobil ini milik anda?”

Seketika kedua bola mata Jungkook benar-benar terlihat membulat sempurna ketika pria bertopi itu menunjukkan sebuah kunci mobil. “Itu milikku! Astaga, akhirnya aku menemukannya!”

“Aku melihat anda menjatuhkan ini tepat setelah anda membayar tagihan belanjaan anda.” kata pria itu.

“Ah, tunggu sebentar,” Jungkook buru-buru merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam saku jasnya. “ambillah. Ini sebagai bentuk ucapan terima kasihku.”

“Tidak perlu. Terima kasih.”

“Ayolah, ambil saja. Oh, apa jumlahnya kurang?”

“Saya sama sekali tidak ingin menerimanya. Saya permisi.”

Sejenak Jungkook terdiam dan memperhatikan pria tersebut dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Topi hitam, kaus yang dilapisi kemeja, serta celana denim yang terlihat kusam—Jungkook pikir pria itu terlalu baik-baik untuk ukuran penampilan yang terlihat urakan.

Orang seperti dia menolak uang? sulit dipercaya.

“Ah, tunggu dulu. Siapa namamu?”

Pria yang ditanya tersebut hanya terdiam dengan raut wajah kebingungan. Mulutnya masih membungkam, terlihat enggan untuk menjawab.

“Ah, jangan salah paham. Aku hanya ingin tahu namamu karena barangkali aku bisa menyapamu kalau kita bertemu lain waktu.” ucap Jungkook buru-buru mengoreksi. “Aku Jeon Jungkook. Kau?”

“Kim Taehyung.”

Jungkook tersenyum manis dan menganggukkan kepala. “Ah, Kim Taehyung. Baiklah, akan kuingat namamu.”

Taehyung hanya menundukkan kepala sebagai bentuk ucapan salam kepada Jungkook. Tanpa basa-basi ia segera berbalik dan melangkah dengan mantap meninggalkan Jungkook. []

FOUL PLAYWhere stories live. Discover now