Mulut mungil Erin terbuka lebar mendengar penjelasanku. Aku menahan tawa dan segera memetik jari tengah dan ibu jariku di hadapan wajahnya, “Hei!”

Sontak kedua mata gadis di sebelahku ini mengerjap beberapa kali membuatku tertawa, “Ah, gila. Ceritamu sungguh mirip dengan cerita-cerita di novel. Intinya, Zayn adalah pahlawanmu, begitu?”

“Tidak, tidak. Itu berlebihan.”

“Ah, mukamu memerah, Jaq!” Erin tertawa cukup keras sehingga membuat beberapa murid menoleh ke arah kami. Sialnya, Zayn dan kawan-kawannya termasuk.

Menyadari tatapan aneh dari beberapa murid lain, Erin menutup mulutnya dan menunduk.

“Dasar bodoh.” Bisikku disusul sikutan tangan Erin padaku.

Aku melayangkan pandanganku dan mendapati Zayn yang tengah menatapku sambil menahan senyum. Yeah, selamat untuk Erin yang sudah mempermalukanku pagi ini.

***

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kami tiba di tempat tujuan. Mr. Maddren –guru geografi menuntun kami ke tengah hutan dimana terdapat lahan yang cukup luas untuk kami dirikan tenda disana.

Aku dan Erin mulai mendirikan tenda milikku. Tidak memakan waktu sampai 10 menit, tenda kami sudah berdiri. Oh, itu karena buku panduannya, bukan karena aku.

Memangnya siapa yang bilang karenaku?

Um, barangkali karena kau pikir aku dulunya tinggal di Afrika dan sering melakukan kemah di hutan?

“Setelah ini kita akan ke tengah hutan, siapkan diri kalian. Jangan lupa bawa obat-obatan yang menurut kalian perlu.” Teriak mr. Maddren.

Setelah bersiap, penelitianpun dimulai. Aku dan semua teman sekelasku berjalan mengikuti panduan mr. Maddren. Aku sangat menikmati perjalanan ini, sungguh. Disinilah sumber inspirasiku. Entahlah, aku jadi ingin melanjutkan novelku.

Apa kalian sudah tahu bahwa aku amat sangat tertarik dengan dunia jurnal? Yeah, buktinya sekarang aku sedang menulis sebuah novel. Dan ini bukan novel pertamaku, melainkan yang kedua. Aku sangat berharap suatu saat nanti ada penerbit yang mau menerbitkan novel-novelku.

Ya, suatu saat nanti. Karena untuk sekarang aku masih belum memiliki keberanian untuk memasukkan novel karanganku ke penerbit. Aku belum siap jika ditolak nantinya. Bagaimanapun juga aku sadar bahwa aku hanyalah seorang penulis amatir.

“Kalian bisa pilih pohon mana yang bisa dijadikan contoh. Amati dengan benar karena minggu depan kalian harus kumpulkan laporannya.”

Setelah mendengar kalimat yang dilontarkan mr. Maddren, seluruh siswa juga siswi sibuk memilih pohon mana yang akan dijadikan contoh. Aku yakin mereka akan mengambil contoh pohon yang paling mudah.

Beberapa murid mulai berpencar ke seluruh penjuru hutan untuk mencari pohon mana yang akan mereka teliti. Sedangkan mr. Madden sedang menyiapkan obor di setiap pohon sekitar kemah kami untuk menjadi tanda agar tidak ada siswa siswi yang tersesat.

Aku dan Erin mulai mencari. Namun saat kami baru berjalan beberapa meter, kami mendengar suara seperti meminta tolong.

“Hei, kau dengar itu?”

Aku mengangguk atas pertanyaan Erin, “Kukira aku salah dengar.”

“Sepertinya arah suara itu dari bawah sana.”

“Dibawah sana itu sungai, bukan?”

Erin mengangguk cepat lalu mulutnya membentuk huruf O. Menyadari raut wajah Erin, aku membelalakan mataku.

BRAVEWhere stories live. Discover now