Chapter 3

161 17 4
                                    

Aku membuka tas ranselku dan mengeluarkan buku yang bertuliskan ‘sejarah’ di depannya. Besok aku mempunyai tugas di kelas itu jadi aku harus mengerjakannya malam ini.

Namun pergerakanku terhenti ketika melihat benda yang 4 tahun ini selalu kubawa kemanapun aku pergi. Aku tersenyum memandangnya. Betapa aku merindukan sang pemilik benda ini.

Theo.

Aku merindukanmu, aku membutuhkanmu disini untuk terus memberiku semangat setiap harinya. Semenjak kepergianmu aku selalu merasa tidak utuh. Mengapa kau tega mengingkari janjimu padaku? Kau bilang bahwa kau tidak akan pernah meninggalkanku dan membiarkanku sendiri, tapi kenyataannya kau pergi.

Tak terasa aku sudah meneteskan air mataku di kalung yang kupegang. Kalung emas berbandul jam yang disisi sebelahnya terdapat sebuah foto seorang pria tampan yang amat sangat kusayangi.

“Aku merindukanmu, Theo.” Ucapku memaksakan untuk tersenyum.

Theo Heatherton. Ia adalah kakak terbaik yang pernah kumiliki. Ia selalu menjadi penyemangatku setiap harinya. Ia juga yang mengajariku hidup lebih mandiri, dari mulai tidur sendiri, berpergian sendiri tanpa ditemani supir atau ayahku, juga memburu binatang buas saat aku masih di Afrika dulu.

Tapi 4 tahun yang lalu ia meninggalkanku juga ayah dan ibuku. Ia mengidap penyakit maag akut hingga merenggut nyawanya. Saat itu keluargaku sangatlah hancur atas kepergian Theo yang mendadak dan memutuskan untuk pindah rumah –tetapi tetap di Afrika-

“Andai saja kau masih ada, aku pasti akan lebih bahagia menjalani hari-hariku yang sangat menyebalkan di sekolah baruku itu.” Aku terkekeh.

Menghela nafas lalu menghapus air mataku, aku meletakkan kalung peninggalan Theo di tasku dan mulai mengerjakan tugas.

***

Aku terbangun kemudian mematikan alarm ponselku yang berdering cukup keras. Ugh, ini sudah pagi dan ternyata aku tertidur di meja belajar karena mengerjakan tugas semalaman.

Dengan gerakan cepat aku membereskan buku yang akan kubawa hari ini lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian bersiap pergi sekolah.

“Aku pamit.” Ucapku setelah mengecup pipi ibuku kemudian masuk ke dalam mobil ayahku.

Seperti biasa ayah mengantarku ke sekolah pagi ini. Bukan, aku bukan anak manja. Tapi kebetulan kantor ayah memang sejalan dengan sekolahku.

“Jaq!” Aku menoleh dan menemukan Erin sedang melambaikan tangannya kearahku.

“Hei.” Sahutku saat Erin sudah berada di sebelahku.

“Kau sudah mengerjakan tugas sejarah?” tanyanya.

“Sudah, kau sendiri?”

“Aku belum mengisi semuanya, bisa kulihat jawaban milikmu?” ia tersenyum menampilkan deretan giginya.

Aku memutar mata dan mengambil buku di dalam tas, “Lain kali, bergurulah denganku yang lebih pintar darimu ini.” Kataku disusul dengan pukulan pelan Erin di lenganku.

Setelah memberi buku milikku pada Erin, aku menyuruhnya untuk lebih dulu ke kelas karena aku harus ke toilet, cuaca pagi ini membuatku kedinginan dan terus buang air kecil.

Aku menoleh ke sekitar toilet untuk memastikan tidak ada gerombolan orang gila yang mungkin akan mengunciku lagi di dalam. Aman, semua siswa di sekitarku tidak menunjukan perilaku yang mencurigakan.

“Aman.” Ucapku setelah selesai buang air kecil dan berjalan keluar toilet.

Namun aman hanya sekedar aman di mulutku, ternyata ada satu kejadian dimana kata aman yang kuucapkan tadi harus kutarik kembali.

BRAVEWhere stories live. Discover now