Chapter 4

152 20 5
                                    

“Bodoh, aku mencarimu kemana-mana dan itu membuatku terlihat seperti orang tolol.” Omel Jaq padaku saat kami sudah bertemu lagi di sebuah toko baju.

Aku melihat-lihat baju lalu menoleh kearahnya, “Maafkan aku, Jaq. Tapi sungguh, perintahmu tadi tidak membuatku menyesal sama sekali.”

“Ya, ya. Hei, bagaimana dengan yang ini?” Jaq membawa satu baju sambil berkaca.

“Jelek. Kau akan terlihat tua jika memakainya.”

Ia memutar matanya, “Sayang sekali, padahal aku suka warnanya.”

“Ayo, aku bantu pilihkan baju mana yang bagus untukmu.”

“Ide bagus. Aku memang buruk dalam bidang fashion.”

Aku mengangkat kedua alisku lalu tersenyum dan menarik tangan Jaq. Kurasa hari ini aku akan membawa Jaq berkeliling mall.

***

“Aku sampai.”

Tidak ada jawaban. Aku mencoba mencari ibuku di dapur, tetapi hasilnya nihil.

“Mom?”

Tiba-tiba saat aku hendak mengambil minum, aku seperti mendengar seseorang sedang mendesah  dan itu berasal dari kamar ibuku. Karena penasaran, akhirnya aku melangkah menuju kamarnya.

Semakin dekat, semakin terdengar pula suara itu. Dan sepertinya aku mengenal suara ini. Oh, tidak, tidak. Jangan katakan kalau—

What the hell are you doing?!

“Erin?! Oh, sweetheart, aku bisa jelaska—“

Aku segera membanting pintu kamar ibuku lalu keluar rumah dan mengendarai Mercedes Benz-ku entah kemana.

Sialan, setega itukah ibuku?! Ayah baru saja pergi tujuh bulan yang lalu dan sekarang ibu sudah berani membawa pria asing ke dalam kamarnya? Oh, lelucon yang sangat lucu.

Setelah parkir, aku berlari masuk ke dalam sebuah kafe. New York diguyur hujan malam ini dan itu sangat pas dengan suasana hatiku sekarang.

“Satu teh panas.” Sebutku pada salah satu pelayan.

Sambil menunggu pesananku datang, aku menatap jalanan yang basah karena hujan.

“Ayah, aku tidak tahu bom macam apa yang meledak di dalam otak ibu, tapi kumohon, maafkan sikap ibu tadi.”

Ya, kurang lebih tujuh bulan yang lalu, ayahku pergi meninggalkan aku dan ibuku untuk selamanya. Kau tahu? Rasanya sakit sekali saat mengetahui ayahku telah tiada. Kejadian itu sangat mendadak. Kantor ayahku menelepon kerumah dan memberi kabar bahwa ayah meninggal karena serangan jantung.

Ya Tuhan, bahkan sudah tujuh bulan semenjak ayahku pergi, aku masih terus menitikan air mata setiap mengingatnya.

Terlebih jika aku mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Ibuku sedang bercumbu dengan pria asing yang tidak kuketahui asal usulnya. Mengapa ibu setega itu? Mengapa ia secepat itu melupakan ayah?

“Kau bicara dengan siapa?”

Sontak aku terperanjat saat menemukan seorang pria di hadapanku dengan jarak yang cukup dekat. Sialan, kukira tidak ada yang memperhatikanku.

Aku membelalakan kedua mataku, “Kau?!”

Pria ini memutar matanya, “Jawab pertanyaanku. Kau tuli?”

“Bukan urusanmu.” Kemudian aku memalingkan wajah kembali ke arah jendela.

Tiba-tiba saja pria tadi duduk di hadapanku, “Hei! Siapa yang mengizinkanmu duduk disini?!” sentakku.

BRAVEKde žijí příběhy. Začni objevovat