Part 8

2.5K 140 2
                                    

#CATATAN_ASHITA
#PART_8
(ISTRI YANG TAK DIANGGAP)

Netra kami bertemu. Cukup lama saling memandang, meski mataku sembab, hatiku pilu, melihat senyum Bang Rizal tetap saja membuat hati kian sejuk. Meski rasa selalu ia sakiti, tak mengapa. Aku akan terus mencintai lelaki di hadapanku ini, karena hanya dia lelaki yang memberikanku posisi terhormat, meski hanya untuk sementara.

Ia usap wajahku dengan tisu, ada bercak gulai katanya di hidung. Sesekali ia tersenyum, semakin manis, tatapan matanya kutahu tiada Zahra di sana. Hati sedikit lega, tak lama ia duduk di sampingku, merobek roti maryam kemudian menyuapiku dengan ujung jemari. Aku menangis lagi. Buru-buru ia membersihkan tangannya dengan tisue. Lalu memelukku erat.

“Kau kenapa Ashita … bicaralah, jangan buat aku merasa bersalah,” katanya kemudian ia merengkuh wajahku dan mencium kening.

Kami kembali, ada yang aneh dengan sikap Bang Rizal belakangan ini. Seperti lebih memerhatikanku, memandangiku dengan tulus. Entah cinta atau hasrat membara sesaat. Entahlah, aku tak tahu. Hanya ucapan yang bisa menggambarkan isi hatinya, tak tahu sampai berapa lama aku bisa menahan. Tapi kuyakin, aku bisa melaluinya.

“Bang ….”

“Ya.”

“Abang bisa antar Ashita?”

“Ke mana?”

“Belanja.”

“Tentu.”

Mobil berbelok kembali ke arah kota. Ia membawaku ke pusat perbelanjaan, mengekor ke manapun tempat aku ingin berhenti. Sebuah toko pakaian muslim menarik perhatianku, gaun berwarna hitam dipajang begitu rapi lengkap dengan khimar juga niqab yang terpasang. Membayangkan tubuhku yang berada di dalam pakaian itu, tak peduli apa kata orang lain. Aku hanya ingin berubah, setidaknya hingga tobatku diterima oleh-Nya.

“Kamu mau beli itu Ashita?” tanya Bang Rizal heran. Aku mengangguk, “aku sungguh-sungguh ingin berubah Bang, bukan karena Azzahra melainkan karena Dia,” gumamku menyampaikan pesan hanya dari sorot mata yang teduh. Bang Rizal diam, ia membuka isi dompet dan hendak membayarkan beberapa gaun yang kuambil.

“Tidak perlu Bang,” sergahku.

“Kenapa?”

“Ashita sudah bawa uang dari Abang yang kemarin.”

“Tidak apa-apa itu kamu simpan saja.”

“Bang … jangan habiskan uang Abang untuk Ashita, tak apa,” ucapku seraya memberikan beberapa lembar uang kertas berwarna merah pada kasir. Tiga buah gaun hitam menjadi pilihanku. Ya. Aku sungguh-sungguh kali ini, bukan karena ingin terlihat rapi, terlihat salihah, terlihat cantik, melainkan hanya karena-Nya. Aku tahu, karena mendadak aku begitu mencintai-Nya melebihi apapun, pesan dari-Nya begitu jelas masuk ke dalam hati hingga angan.

Karena hanya dengan-Nya aku lebih kuat dan berani, karena hanya janji-Nya yang bisa kupegang saat ini. Jika kebahagiaan di Bumi sudah tak tersedia untukku, setidaknya berikan saja aku sepetak tanah di Surga, meski kecil asal bersama-Nya  sudah cukup.

Kami kembali pulang, Bang Rizal terlihat murung. Mungkin ia lebih suka melihatku dengan pakaian terbuka, ya karena dia menikahiku memang untuk itu. Bukan untuk pendampingnya hingga ke Surga, sebatas teman bicara, teman tidur dan tak lebih dari itu. Sejurus kemudian ponselnya bergetar, kuperhatikan lelakiku bicara begitu datar, hingga kemudian ia hentikan mobil, “ sebentar ya,” ucapnya seraya membuka pintu mobil dan bicara di luar. Kutatap dia, begitu serius dan mungkin tak ingin terganggu olehku atau mungkin tak ingin aku ikut campur dalam urusannya. Tak lama ia kembali, lalu tersenyum padaku.

Kami tiba di rumah, Adnan dan Amira berhamburan lari memelukku. Wajahku sumringah, kuberikan beberapa mainan yang sengaja kubeli di Mal untuk mereka kemudian mengajak mereka bermain di kamar. Bang Rizal tak terganggu, cukup lama aku bermain bersama anak-anak dan ia juga belum memanggilku. Setelahnya aku lelapkan mereka di pelukan. Kuceritakan kisah dongeng cinderella pada mereka, hanya itu yang kubisa.

CATATAN PELACURWhere stories live. Discover now