10. Till We Meet Again

107 10 17
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun Dinan masih terjaga untuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang harus dikumpulkan besok. Dinan memang masih terhitung Maba di kampusnya sebenarnya tugas kuliah belum terlalu banyak, tapi karena keaktifannya dalam kegiatan organisasi Dinan menjadi lebih sibuk.

"Ya ampun ngantuk." Dinan mengucek matanya. Kemudian ia turun menuju dapur untuk mengambil minuman kopi favoritnya.

Dinan duduk di meja makan sambil meneguk minumannya. Tiba-tiba ia melamun, ia teringat sesuatu. Selalu saja seperti ini, rindu di tengah malam. Siapa yang bisa menolongnya? Dinan bisa gila jika harus seperti ini setiap malam.

"Kamu lagi apa? Gimana keadaan kamu sekarang? Apa kamu masih suka ke taman belakang? Aku kangen kamu."

"Devi aarghhh.." Dinan mengerang frustasi.

"Dinan!" Seseorang menepuk bahu Dinan yang membuatnya kaget.

"Ya Allah Bunda. Ngagetin aja." Dinan berbalik dan menatap Bundanya.

"Lagi ngapain? Kok belum tidur?"

"Masih ngerjain tugas, Dinan ngantuk jadi ambil ini dulu." Dinan menunjukkan minuman kopi botolnya.

"Kamu ini, kalo ngantuk ya tidur! Jangan banyak-banyak minum kopi tengah malem."

"Iya Bunda, maaf." Dinan kembali meneguk minumannya.

"Ngapain tadi teriak Devi-Devi?" Tanya sang Bunda.

"Eh? Siapa juga yang teriak? Bunda salah denger kali."

"Ngga usah bohong, Bunda denger."

Dinan menghela napas, ia mengalah untuk bercerita pada Bundanya.

"Aku kangen Devi." Dinan menatap intens wanita paruh baya di depannya.

"Ya kan tinggal ketemu."

"Ngga bisa."

"Kenapa?"

"Dia udah punya pacar."

"Ya terus?"

"Kok terus sih?"

"Emang kalo Devi udah punya pacar, kamu ngga boleh kangen?"

"Harusnya gitu."

"Kangen itu hak setiap orang kepada siapapun. Jadi ya ngga ada larangan lah kamu mau kangen sama siapa."

Dinan hanya terkekeh mendengar perkataan sang Bunda.

"Pacar Devi lebih ganteng dari kamu pasti ya? Makanya kamu minder terus galau." Ucap sang Bunda mengejek.

"Pernah liat aja engga."

"Loh terus?"

Dinan pun menceritakan kejadian yang sebenarnya pada sang Bunda.

"Oh jadi ini yang bikin kamu galau." Bunda Dinan menatap putranya penuh selidik.

"Biasa aja." Jawab Dinan.

"Perjuangin dong! Hal yang belum pasti kok dijadiin penghambat. Cemen kamu ah!"

Dinan menatap sang Bunda tak percaya. Bisa-bisanya sang Bunda meledeknya.

"Jadi Bunda nyuruh aku ngerebut Devi dari pacarnya?" Dinan bertanya sambil tersenyum.

"Bunda bilang perjuangin, bukan rebut. Dia perempuan harus diperjuangin, bukan barang buat direbutin." Ucap sang Bunda.

"Iyaa." Sahut Dinan.

"Udah sana tidur, besok berangkat pagi?" Tanya Bunda.

"Jam 9. Yaudah Dinan naik ya Bunda. Makasih." Dinan tersenyum lalu memeluk sang Bunda.

Rewrite The StarsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora