8. Broken

126 10 16
                                    

Devi, gadis tersebut sedang berkonsentrasi menyelesaikan lukisannya yang sempat tertunda. Lukisan seorang pemuda yang sedang tersenyum. Ya, siapa lagi jika bukan Dinan. Devi baru menyadari betapa lucunya Dinan ketika ia tersenyum. Devi bisa melihat gigi kelinci milik Dinan, dan menurut Devi itu hiburan tersendiri baginya.

"Dek, ada yang mau ketemu." Suara sang kakak memecah konsentrasi Devi.

"Siapa?" Tanya Devi tanpa menatap sang kakak.

Dea mengalihkan pandangannya ke depan pintu ruang rawat Devi, dan mengode seseorang untuk masuk. Seorang pemuda lalu masuk ke ruang rawat Devi. Devi yang masih sibuk dengan lukisannya pun tak sadar akan keberadaan seseorang selain kakaknya.

"Kak? Siapa yang..." Devi terdiam tak dapat melanjutkan kata-katanya. Tatapan Devi berubah datar melihat kehadiran seseorang tersebut.

"Ranita.." ucap pemuda tersebut. Devi masih diam. Pemuda tersebut mendekat ke arah Devi lalu memeluknya.

"Aku kangen kamu Ranita. Maafin aku, aku baru bisa dateng." Ucap pemuda tersebut. Devi tak sedikitpun bergeming. Bahkan ia tak membalas pelukan sang pemuda.

"Selamat sore Tante." Dinan mencium punggung tangan Mamah Devi.

"Sore Dinan, mau jenguk Devi? Mamah Devi tersenyum ramah.

"Iya Tante, boleh?"

"Ya boleh lah. Masuk aja, ada Dea juga di dalem."

"Iya Tante, makasih. Kalo gitu Dinan masuk ya." Pamit Dinan. Mamah Devi mengangguk.

"Aku sayang kamu Ranita, kamu masih nunggu aku kan? Aku bakal pindah kuliah sama kamu disini." Sang pemuda mengusap rambut Devi. Devi sebisa mungkin menahan air matanya yang mendesak keluar.

Pemandangan kedua orang tersebut membuat seorang pemuda yang berdiri di ambang pintu mengurungkan niatnya untuk masuk. Ada perasaan aneh ketika dirinya melihat Devi berada di pelukan seseorang yang tak ia kenali. Cemburu? Mungkin.

Dinan memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan ruang rawat Devi.
"Cepat sembuh peri cantik." Dinan menarik napas panjang untuk mengurangi rasa sesak yang tiba-tiba menyerang.

Sedangkan di dalam ruang rawat Devi, terjadi keheningan. Devi masih diam mengabaikan pemuda yang memeluknya erat.

"Ranita, aku sayang kam.."

"Udah Bobby!" Ucapan pemuda yang bernama Bobby dipotong oleh Devi. Devi melepaskan diri dari pelukan Bobby.

"Kalau kamu di sini mau jenguk aku, makasih. Oh iya, aku udah ngga nunggu kamu. Aku kira ngga perlu aku jelasin kenapa." Air mata Devi turun bebas membasahi pipinya.

Bobby terdiam, begitupun Dea. Dea hanya bisa menonton.

"Kamu pergi waktu aku ngga baik-baik aja, jadi jangan dateng ketika aku mulai baik-baik aja. Maaf kalau dulu aku nyusahin kamu. Jadi sekarang lebih baik kamu jauhin aku biar kamu ngga susah kaya dulu lagi." Devi menatap Bobby.

"Ranita, aku minta maaf. Aku sayang kamu. Aku ngga berniat ninggalin kamu dulu. Aku.."

"Keluar!" Lagi, ucapannya terpotong oleh Devi.

"Tapi aku kangen kamu." Ucap Bobby.

"Keluar sekarang!" Untuk pertama kalinya pemuda tersebut mendengar bentakan Devi.

Dea yang merasa situasi makin rumit segera menarik paksa Bobby untuk keluar dari ruangan sang adik. Bobby menurut, ia keluar dari ruangan Devi.

"Mending kamu turutin maunya Devi." Ucap Dea setelah keduanya berada di luar.

"Tapi kak, saya ngga bisa jauhin dia. Saya sayang dia." Bobby menatap Dea dengan tatapan memelas.

"Ngga bisa jauhin dia? Oh yaudah, tinggalin dia. Bisa kan? Bisa lah ya, kan dulu udah pernah." Sindir Dea.

"Maaf kak, saya ngga bermaksud." Ucap Bobby menunduk.

"Yaudah lah Bob, kamu pulang aja."

"Tapi kak,.."

"Apa perlu dibentak buat kedua kali?"

Bobby perlahan menjauh dari Dea. Ia pergi meninggalkan ruang rawat Devi. Dea melangkahkan kaki hendak masuk kembali, namun langkahnya tertahan karena ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Bunga punya siapa ya? Perasaan tadi ngga ada deh. Apa ini buat Devi?" Gumam Dea. Akhirnya ia membawa buket bunga tersebut masuk.

Ketika Dea masuk, hal pertama yang ia lihat adalah Devi yang seluruh tubuhnya ditutupi oleh selimut. Dea yakin jika adiknya tersebut sedang menangis.

"Dek, udah ya ngga usah dipikirin." Dea mengelus punggung Devi. Devi lalu berbalik menghadap kakaknya.

"Aku benci dia." Ucap Devi.

"Iya udah, kamu lupain aja. Oh iya dek, aku nemuin ini tadi di depan pintu." Dea menunjukkan buket bunga yang tadi ia temukan pada Devi.

"Bunga? Buat aku?" Tanya Devi.

"Kayanya sih gitu. Tapi aku ngga tau siapa yang ngasih."

"Aku ngga mau, pasti itu dari Bobby."

"Bukan deh kayanya. Tadi pas aku sama Bobby masuk tuh ngga ada. Lagian kalo emang Bobby pasti dia kasih langsung lah."

"Coba liat." Pinta Devi. Dea menyerahkan bunga tersebut.

Tiba-tiba pintu ruangan Devi terbuka dan muncullah sang Mamah.

"Loh bukannya tadi ada Bobby sama Dinan ya? Mereka udah pulang?" Tanya sang Mamah pada kedua putrinya.

"Dinan?" Tanya Devi.

"Iya, tadi dia dateng. Belum lama banget kok. Itu bunga juga dari Dinan kan? Mamah liat tadi dia bawa bunga itu." Ucap sang Mamah melihat bunga yang dipegang Devi.

"Dek, jangan-jangan..." Dea dan Devi saling tatap.

***

Bilur makin terhampar
Dalam rangkuman asa
Kalimat hilang makna
Logika tak berdaya
Di tepian nestapa
Hasrat terbungkam sunyi
Entah aku pengecut, entah kau tidak peka
Ku mendambakanmu mendambakanku
Bila kau butuh telinga tuk mendengar
Bahu tuk bersandar
Raga tuk berlindung
Pasti kau temukan aku di garis terdepan
Bertepuk dengan sebelah tangan..


Dinan berada di balkon kamar, memetik gitarnya dan menyanyikan sebait lagu milik Fiersa Besari. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya bagi Dinan.

"Bertepuk sebelah tangan ya?" Dinan tersenyum getir mengingat kejadian sore tadi.

Setelah pulang dari rumah sakit sore tadi, Dinan hanya berdiam diri di kamarnya. Bahkan ia melewatkan makan malam bersama keluarganya. Entahlah, hari ini mood Dinan sangat jelek.

"Kenapa sih, ketika gue udah biarin seseorang masuk ke hati gue pasti ujungnya sakit?" Gumam Dinan.

"Peri cantik, semoga kamu bahagia ya. Walaupun aku harus sakit." Dinan tersenyum bersamaan dengan hatinya yang terluka.


To be continued..





Hallo👋

Rewrite The StarsWhere stories live. Discover now