"Kapan kau selesai bekerja?" tanya Yoongi bersamaan mengeluarkan satu ponsel hitam dari saku jaketnya.

"Bagaimana Oppa bisa tau aku a-"

"Aku bertanya kapan kau selesai bekerja, jawab yang satu itu. Jangan bertanya kembali padaku."

Yoonji sukses menggigit lidahnya, bukan main jantungnya berdegup semakin kencang, seolah mampu merontokkan dinding arteri. Bulu remang Yoonji menggeriap.

"S-Shif ku akan berakhir sekitar tiga puluh menit lagi," terangnya setelah menautkan tatap pada jam dinding di sudut kedai. Lantas menatap kedua manik hitam sang kakak dalam kemelut lain. Tatapan yang tenang, tetapi mengintimidasi bukan main.

Pribadi dengan topi pun masker hitam itu mengangguk paham, "Aku akan mendengarkan penjelasanmu tentang semua hal tiga puluh menit lagi," sederhana Yungi.

Maka Yoonji bisa apa selain melakukan tugasnya dengan baik hingga jam kerjanya berakhir. Bersamaan memikirkan banyak hal yang berebut tempat guna bertengger dalam bulatan kepala. Yoonji kira, dia sudah melakukan pelariannya dengan begitu baik, menggunakan uang pesangon perusahaan untuk membangun serpihan hidup begitu baik pula. Tetapi memang benar, bagaimanapun juga Yoonji tak bisa dengan entengnya meninggalkan keluarga layaknya meninggalkan masa lalu.

Sejatinya, ia tidak setega itu untuk membumi hanguskan diri dari bumi, atau dari koneksi abadi yang ia miliki dengan keluarganya. Hanya saja, Yoonji belum siap membawa sebuah kenyataan pada ambang pintu rumah, di Daegu. Menata hatinya setegar ini saja, sudah berat bukan main. Maka ia merasa membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk membawa ketegaran lain ke hadapan orang tuanya dan Yungi. Membawa sosok Hyunki yang menggemaskan, tidak akan berdampak sama gemas dengan kisah kelam di baliknya.

Nyatanya, arus yang Yoonji hindari tengah duduk tenang menyesap Americano dingin di atas sofa suede berwarna coklat, tepat di depannya. Dengan aura dan kharisma yang tidak pernah luntur selama ini, selalu  berwibawa di mata Yoonji.

"Kau bisa mulai darimanapun," ucap Yungi bersamaan bersandar nyaman pun melipat tangannya.

Menatap sang adik perempuan yang masih setia menunduk sejak lima menit yang lalu. Ditemani semburat jingga matahari yang mulai kembali ke peraduan.

"Ak-aku."

Demi apapun, Yoonji tengah merutuki dirinya di dalam benak. Sekali dua kali menatap gugup ke arah sang kakak yang masih setia memasang ruang rungu dalam ketenangan. Bukannya Yungi jahat sampai Yoonji begitu ketakutan layaknya tikus menyedihkan. Dia hanya terlalu menghormati pun segan dengan sosok Yungi. Kakak yang mendukung biaya sekolahnya seorang diri hingga ia bisa bekerja sebagai pegawai perusahaan besar. Posisi pekerjaan Yoonji yang dulu memang termasuk salah satu prestasi yang gemilang, setidaknya terlihat begitu di tengah keluarganya. Bukan berarti Ayah Yoonji tidak ingin menyekolahkan sang putri semestinya, hanya saja Yungi yang tidak mengijinkan. Ia merasa menjadi kakak yang harus bertanggung jawab akan sang adik.

Di sela kegusaran Yoonji, Yungi menghela napas panjang setelah menarik masker hitam itu hingga bawah dagu, "Kemana saja kau selama ini?" suara lembut itu berusaha mengambil alih situasi.

"Aku sudah tinggal di dekat sini."

"Kenapa dengan pekerjaan lamamu?"

"Aku berhenti."

"Dipecat?" kali ini Yungi tak mampu menahan ekspresi heran penuh telisik di sana.

Lacuna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang