Dua Puluh Dua

11.4K 965 28
                                    

"Jangan cerita apapun pada Rena."

Pria itu menatap bingung, cerita yang mana maksud Devan, cerita apa yang harus ia sembunyikan dari gadis itu.

"Jangan cerita apapun tentang Ana, Rena gak perlu tau hal itu."

Ian melirik sekilas kearah meja dimana Rena duduk, lalu mengangguk menyetujui ucapan Devan, ia tidak perlu ikut campur dalam masalah mereka.

Devan bernafas lega "Thanks." Ia berbalik, berjalan kembali ke arah meja Rena yang sudah dipenuhi hidangan yang ia pesan tadi.

Mata berbinar Rena mampu membangkitkan senyumnya, gadis itu selalu bisa meneduhkan hatinya, bagaimana ia bisa berjauhan dengan Rena, semua tentang gadis itu bisa membuat dirinya semakin jatuh cinta setiap saat.

"Kenapa gak dimakan?"

Mata berbinar Rena beralih menatapnya "Rena nungguin Kak Devan, gak mungkin Rena makan tanpa Kak Devan, nanti siapa yang bayar kalau ternyata Kak Devan kabur tadi."

Lagi lagi gadis itu membuatnya tertawa, siapa yang tidak gemas dengan tingkah serta wajah gadis itu, andai ia bisa, mungkin ia akan membawa gadis itu lagi bersamanya, pergi sejauh mungkin, tanpa diketahui siapapun.

Namun keadaannya sekarang sudah berbeda, gadis itu adalah Rena, bukan lagi Ana adiknya yang lugu dan polos, mungkin ini memang sudah takdir.

Saat itu ia berniat menghindari Arga yang berada di rumahnya, itu sebabnya ia membawa Ana ke pantai yang cukup jauh dari rumahnya, tapi Tuhan berkehendak lain, ia malah bertemu Aldo dan membiarkan mantan sahabatnya itu membawa Ana pergi darinya.

"Kak, kok melamun? Rena udah habis sepiring nih, kak Devan kenapa makanannya belum dimakan juga?"

"Ini mau makan kok," ucap Devan.

Rena hanya mengangguk, kemudian kembali fokus pada makanannya.

Itu piring yang kedua.

***
"Arga, kenapa gak makan?"

Arga menggeleng lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, ia menatap sekitar, tempat ini seperti cafe, tapi didominasi oleh kalangan pebisnis, bukan remaja seperti di cafe-cafe pada umumnya, mungkin karna nuansanya yang terlihat klasik.

"Kenapa? Gak suka ya makan disini?"

Arga kembali menggeleng.

"Terus kenapa?"

"Gue jijik."

"Lo jijik makan disini?" Lily menghembuskan nafasnya "Kenapa gak bilang dari awal, gue ngerti kok selera lo itu restoran berbintang, tapi seenggaknya hargai gue yang udah milih tempat ini, lagian gue gak akan sanggup mesan satu menu pun di Restoran semacam itu."

Nafasnya memburu saat tau Arga sama sekali tidak menghargai kebaikannya, apa salahnya makan di cafe ini, orang orang seperti Arga juga sering menghabiskan makan siang disini.

Matanya berkaca-kaca saat menatap pria itu yang sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang telah ia ucapkan, Arga masih memasang wajah dinginnya.

"Gue gak masalah kalau makan di pinggir jalan sekalipun, yang jadi masalah adalah, gue gak bisa makan dengan orang yang selama ini gue percaya tapi ternyata telah berkhianat."

"Lo nuduh gue berkhianat?" Tanya Lily, air matanya sudah mengalir sedari tadi.

"Uang itu, uang yang lo pake untuk mentraktir gue, itu bayaran lo karena udah jadi mata mata si brengsek itu kan?" Ucap Arga tanpa menghiraukan pertanyaan Lily.

Arga tersenyum miring, puas melihat wajah pucat Lily "Devano Refaldy, si brengsek yang sudah nyuruh loh untuk ngintai gue, semua rencana yang gue susun untuk menemui Rena bocor gitu aja karna lo, right?"

Remember You (Selesai)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora