-Five-

1.2K 66 8
                                    

Senin pagi, sekitar pukul lima. Jam weker Ririn sudah bersuara untuk membangunkan tuannya. Ya, hari ini hari yang dinanti Ririn. Ia akan mengunjungi SMA Davi untuk mendaftarkan diri.

Ririn mematikan wekernya. Bangkit dari ranjangnya dan berjalan guntai ke arah dapur. Tenggorokannya kering meronta untuk dibasahi. Baru saja ia berdiri didepan pintu dapur, siluet lelaki mengagetkannya.

"Mau kemana, Kak?" Lelaki yang memunggunginya itu berjengit kaget.

"Kamu kenapa jam segini udah bangun?"

"Haus," ia melanjutkan langkahnya menuju dispenser terdekat. "Kakak mau kemana?" Tanyanya sekali lagi sebelum meneguk airnya sekali.

"Pulang,"

"Kemana?"

"Ya kerumah,"

"Ke Jogja?"

"Iya,"

"Kok cepet banget, Kak?"

"Ya ijinnya kan cuma sebentar," tangannya sibuk membuat roti panggang. "Kamu jangan nakal ya. Jaga diri baik-baik. Jangan sampe salah temenan lagi,"

Ririn hanya mengangguk. Dicucinya gelas yang telah dia pakai. Kemudian menaruhnya ketempat semula. Baru saja akan kembali ke kamarnya, tubuh Davi menabraknya pelan.

"Tumbenan udah bangun,"

"Kamu juga tumbenan udah bangun,"

"Ya gue sih biasa bangun jam segini emang," matanya beralih kepada Ian yang sekarang sedang duduk menikmati sarapannya. "Rapi bener, mau kemana lu?"

"Balik,"

"Ooh. Jam berapa?"

"Paling barengan sama lu berangkat sekolah,"

Ririn kembali berjalan ke kamarnya, meninggalkan mereka berdua di dapur. Jam wekernya menunjukkan pukul setengah enam. Ririn segera berbenah diri. Waktunya tidak banyak, menurutnya.

Setelah berbenah diri dan berganti pakaian yang rapi, ia keluar dari kamar menuju ruang tamu. Dilihatnya ruang tamu sudah ramai. Ada Ian dan keluarganya yang hari ini juga akan pulang ke Jogja, Davi yang juga sudah rapi dengan seragamnya, serta Oma yang juga sudah siap mengantarkannya mendaftar sekolah. Hanya Opa, Papa Davi dan juga Bunda yang memakai baju santai.

"Sarapan dulu sana, ada nasi goreng tadi Oma bikin,"

"Engga ah. Ririn masih kenyang," ia mengambil tempat duduk disebelah Davi yang sibuk memakan roti isinya.

"Aa,"

Ririn mengernyitkan dahi; bingung kenapa tiba-tiba Davi menyodorkan sebuah roti yang tadi dipegangnya kepada Ririn.

"Apaan?"

"Buka mulut susah bener kenapa sih. Heran," tangan Davi masih terangkat di depan mulut Ririn. Adegan itu juga dilihat oleh semua orang yang ada disana.

Dengan terpaksa, ia memakan potongan roti yang disuapkan Davi kepadanya. Ia hanya tidak mau semua mata memandang ke arah mereka.

Setelah sekitar sepuluh menit mereka berkumpul di ruang tamu, akhirnya mereka beranjak untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Ian dengan orang tua serta kakaknya menaiki mobil menuju bandara, diantar Papa Davi dan Opa. Sedangkan Ririn, Davi, serta Oma menaiki mobil menuju sekolah Davi.

Sebelum perpisahan terakhir mereka, Ian menarik tangan Ririn sebentar. Ia mengajak Ririn untuk berbicara berdua saja dengannya selama lima menit.

"Rin, denger Kakak ya. Jaga diri kamu baik-baik. Bergaul sama temen yang emang lingkungannya itu nggak buruk kayak dulu,"

"Iya, Kak. Tenang aja, aku nggak bakal salah pilih temen kok," dan malah nggak bakal mau temenan kayaknya.

"Rin, Kakak serius,"

"Aku juga, Kak," ucapnya frustasi. Ia lelah Ian berkata seperti itu terus. Ia tahu Ian khawatir padanya. Tapi, ia merasa lelah jika ditekan seperti ini.

"Kakak bakal balik lagi kesini, Rin. Bakal tinggal lagi di Jakarta. Kakak janji. Kakak janji bakalan ada buat kamu,"

"Maksud Kakak?"

"Ian!" Panggil Abinya sesaat sebelum memasuki mobil.

"Iya, Bi! Sebentar lagi!" Kemudian ia menolehkan kembali kepalanya kepada Ririn.

"Pokoknya, jaga diri kamu baik-baik sampai Kakak balik lagi kesini. Oke?" Ririn hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa diduga Ririn, Ian memeluknya. Pelukan yang dirasa beda oleh Ririn. Bahkan oleh Ian.

Ian melepaskan pelukan mereka, dan secara cepat juga mendaratkan bibirnya diatas pipi Ririn. Untuk pertama kalinya, Ririn merasakan jantungnya berdebar kencang. Untuk pertama kalinya, mukanya memerah karena kejadian seperti itu. Ia tidak bisa berkutik dan hanya bisa berdiri ditempat. Kemudian ia melemparkan senyum kikuk kepada Ian yang mengajaknya kembali ke mobil masing-masing.

Dan di lain tempat, untuk pertama kalinya seseorang merasakan rasa marah yang tidak dapat ia tahan.
-------------------------------------------------------

AirinWhere stories live. Discover now