-One-

2.3K 102 6
                                    

"Kamu yang kuat ya, jangan nangis terus. Nanti almarhum sama almarhumah nggak tenang kalo kamu sedih terus," suara gadis yang sedang mengalami pubertas itu menggema di telinga Ririn. Diusapnya bahu Ririn dengan penuh kasih sayang.

Ririn membalasnya dengan anggukan kecil. Kepalanya masih menunduk. Rasa sedih masih saja menggelayutinya.

Kabar duka itu datang secara tiba-tiba malam tadi. Seorang polisi menghubungi rumah omanya. Mengabarkan bahwa mobil yang ditumpangi kakek dan nenek mengalami kecelakaan. Nenek meninggal ditempat. Sedangkan kakek meninggal diruang operasi.

"Mau keluar sebentar?"

"Ah?" Matanya yang sembab menandakan ia lelah menangis. Gadis itu tersenyum ramah kepada Ririn.

"Matamu sembab. Kamu harus istirahat,"

"Aku nggak ngantuk,"

"Siapa bilang kamu ngantuk?" Gadis itu menatap Ririn geli.

Ririn menghela nafas. Ia bangkit dari duduknya, menuju kamar nenek dan kakeknya. Dibelakangnya, gadis itu mengikutinya.

"Kenapa?" Ia menoleh kepada gadis itu sebelum masuk ke kamar nenek dan kakeknya.

"Aku belum pernah lihat kamu selama aku tinggal disini," Ririn hanya memandanginya tanpa melakukan reaksi apapun. "Aku Gemma, kamu?" Gadis itu mengulurkan tangannya.

"Ririn," jawabnya sambil mengenggam enggan tangan Gemma. "Aku mau tidur sebentar,"

"Oh, silahkan. Selamat istirahat, Ririn." Ucap Gemma sambil tersenyum.

Ririn menutup pintu kamarnya. Dibaringkan tubuhnya, dipejamkan matanya. Tidak ada lima menit, dirinya sudah mulai terlelap.

*****
Ririn terbangun dari tidurnya pukul tujuh malam. Semua orang sibuk menyiapkan acara tahlil untuk kakek dan nenek. Dilihatnya bunda dan suaminya sedang duduk diatas sofa dengan perut yang membesar.

"Baru bangun?" Suara Davi mengagetkan Ririn. Ririn tidak menjawabnya.

"Kapan datengnya?"

"Tadi sore pas kamu tidur,"

"Siapa?"

"Apanya?" Davi bingung.

"Bukan kamu yang aku maksud. Bunda sama papa kamu,"

"Oh," Davi tersenyum geli. "Kayaknya nggak lama aku dateng, bunda sama papa baru dateng juga,"

Ririn hanya menganggukkan kepalanya. Kemudia ia berjalan menuju dapur. Perutnya berteriak minta diisi.

"Udah bangun cucu Oma," sambut omanya yang sedang menyiapkan hidangan untuk para tamu.

"Oma, laper,"

"Adanya nasi ini, mau?"

"Nggak papa Oma, laper Ririn," ia mengambil piringnya dan mulai menyendokkan nasi, sayur dan lauknya ke piring.

"Rin," suara itu menghentikan suapan ketiga Ririn. Ia menoleh sedikit.

"Maaf ya, baru dateng," lelaki itu memeluk bahu Ririn dari belakang. "Kakak turut berduka cita juga buat kakek sama nenek,"

Ririn mematung. Sudah hampir setengah tahun ini Ririn tidak pernah menghubunginya. Jika lelaki itu menghubunginya, ia tak pernah mau membalas pesan atau mengangkat teleponnya.

"Rin?"

"Iya, Kak?"

"Kenapa diem aja?"

"Ng.. nggak apa-apa sih, Kak,"

"Kenapa tiap Kakak chat atau Kakak telepon kamu nggak pernah bales? Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, Kak. Beneran," kali ini ia memberanikan diri menatap mata lawan bicaranya.

"Kamu nggak aneh-aneh lagikan?"

"Apasih, Kak..."

"Ririn," suara Davi memenuhi ruang makan. Ia berdiri di pintu masuk.

"Iya, Dav?"

"Dicari bunda," katanya sambil berjalan ke arah kulkas, mengambil minuman dingin.

"Lagi makan, Dav,"

"Rin,"

"Dav aku lagi makan,"

"Yaudah kalo gitu aku yang minta bunda kesini,"

"Dav jangan!"

"Kenapa sih, Rin? Kamu masih nggak mau berdamai sama hatimu sendiri?" Katanya seraya mendekati Ririn. Kemudian ia duduk disebelah kanan kursi Ririn.

Ririn diam. Ia enggan menjawab. Ia juga tak tahu kenapa ia masih malas bertemu bundanya.

"Temuin, Rin. Kamu nggak akan tau kapan lagi kamu bisa ketemu bunda, iya kan?" Ucapnya sambil memegang satu tangan Ririn yang kosong.

"Nggak usah pegang-pegang tangan juga kali ah," Davi menyela. Ia membuang wajahnya ke arah sebaliknya.

"Maaf?"

"Ian, Ririn, Davi, ayo ke depan. Udah mau dimulai," panggilan oma menginterupsi obrolan kecil mereka.

Bertiga, mereka berjalan beriringan hingga sampai ruang tengah. Bunda Ririn ada disana, menangis ditengah-tengah tamu wanita. Ririn mengalihkan pandangan ke arah tamu lelaki. Dilihatnya ayah disana, wajahnya berduka juga.

"Ayah?" Ririn menggumam kecil. Jika ayah ada disini, maka....

Segera ia menolehkan kepalanya kembali pada tamu-tamu perempuan. Dan, benar dugaannya. Dia, gadis sebayanya yang sangat dibencinya ada disana juga. Bersebelahan dengan sosok wanita dewasa yang juga dibencinya. Emily dan mamanya.

-------------------------------------------------------
Tadaa!

Aku balik lagi bawa cerita pesenan kaliaan~

Jadi, gimana nih sama Ririnnya? Harus ga sih dia maafin orang tuanya, terus damai sama dirinya sendiri?

Ayo-ayo komen dibawah! ^^

谢谢大家😘

AirinWhere stories live. Discover now