14. Bahagia

139 6 1
                                    

Karin mengetuk pintu rumahnya, tapi tidak ada satupun yang membukakkan pintu. Sambil mengucapkan salam, Karin memasuki rumahnya. Tidak ada siapapun di ruang tamu dan ruang keluarga.

Gadis itu hanya mengikuti kata hatinya untuk melangkah menuju dapur rumahnya. Kedua retinanya menangkap sebuah keluarga kecil tengah memasak kue dengan penuh bahagia.

Ada seorang ayah, ibu dan juga gadis remaja mereka. Gadis itu nampak bahagia dengan seyuman merekah di bibirnya.

Karin hanya dapat tersenyum tipis. Dan tanpa disadari satu tetes ait mata meluncur mulus di pipinya.

"Karin bahagia lihat kalian bahagia," ucap Karin lirih sangat lirih. Bahkan terdengar seperti sebuah hembusan napas.

Gadis dengan rambut hitam sepunggung itu menghapus jejak air matanya. Lalu berniat beranjak dari tempatnya. Namun sebuah panggilan membuatnya berbalik.

"Karin," panggil Syifa—kakak Karin.

"Apa?" kata Karin dengan tatapan dingin.

"Baru pulang?" tanya Syifa dengan lembut.

"Iya."

"Gimana sekolah kamu? Udah masuk BK?!" itu bahkan bukan seperti sebuah pertanyaan melainkan tuduhan.

Karin tidak menatap Indah—mamanya. Karin memalingkan wajahnya, takut-takut air matanya terjun saat menatap mamanya.

"Sekolah Karin baik," jawab Karin.

"Mama yakin kamu udah punya masalah di sekolah baru kamu."

Seperti inilah kehidupan Karin di rumah. Tidak ada perhatian untuknya. Tidak ada yang menganggap dirinya manusia berguna. Tidak ada kasih sayang. Yang ada hanya bentakan.

Kadang Karin merasa tidak berguna berada di dunia ini. Karin bosan dengan kehidupannya.

"Aku ke atas dulu," pamit Karin lalu berbalik.

"Lihat kan! diajak bicara malah pergi seenaknya. Gak punya sopan santun!"

"Ma, udah." Aldo menahan istrinya agar tidak meluapkan semua emosinya.

"Rin gak baik gitu," kata Syifa.

Tanpa mendengarkan lebih jauh ucapan keluarganya Karin naik ke atas. Dengan susah payah dia menahan air matanya.

Membuka pintu kamar, lalu menutup pintunya dengan keras. Melempar tas ke atas tempat tidurnya. Punggungnya dia sandarkan ke pintu. Lalu tanpa mengganti pakaiannya Karin menagis di lantai.

Tak ada suara di tangisannya. Hanya ada air mata yang terus jatuh dari mata indahnya.

Sesak, rasa itulah yang Karin rasakan. Menangis tanpa suara itu lebih menyakitkan dari pada tergores pisau.

Merasa ada yang salah dari dirinya, Karin bangkit. Menuju kaca besar yang Ada di kamarnya. Melihat bagaimana kondisinya sekarang. Keadaan yang membuat Karin membenci dirinya sendiri.

Karin menghapus air matanya, merapikan rambutnya. Lalu tersenyum sinis.

"Gue gak pantes nangis. Jangan jadi lemah Karin! lo harus kuat!" kata Karin menyemangati dirinya sendiri.

*****



"Ck. Kenapa pake acara habis bensin sih?!"

Reyhan memukul motornya kesal. Disaat-saat seperti ini kenapa harus sial. Reyhan melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 malam.

BOYFRIENDWhere stories live. Discover now