Pemuda itu tertegun. Apa yang dia kira sebagai pintu keluar, ternyata adalah pintu menuju kamar mandi dalam. Pada saat itu dia berterimakasih dari lubuk hatinya yang terdalam pada kenyataan bahwa dia sedang sendirian.

Lantai dan dinding kamar mandi itu dilapisi keramik. Sebagai ganti bak mandi, ada sebuah gentong dari gerabah tebal yang menampung air dari pancuran. Di sampingnya tersedia wastafel batu tanpa keran dengan cermin bundar menempel di dinding. Tidak ada ruang untuk kloset.

"Minta keran dengan air hangat sepertinya berlebihan, ya?" gumam pemuda itu ketika mencelupkan tangan ke air yang dingin.

Lebih dingin dari yang dia duga. Namun segar yang dia rasakan setiap guyuran air gunung menimpa kepala hingga ujung kakinya membuat perasaannya menjadi tenang. Usai membersihkan diri, selanjutnya dia harus memastikan tidak ada rambut wajah yang tumbuh tidak teratur.

Tangannya meraih sebilah pisau cukur dari perlengkapan mandinya, tetapi belum sempat pisau itu menyentuh dagunya pandangan pemuda itu terfokus pada satu titik. Di antara rambut poni kecokelatannya yang basah, di sebelah mata cokelatnya yang biasa dia bisa melihat iris mata kanannya tetap berwarna merah.

Dia sudah berkali-kali mengalami perubahan warna mata, semua terjadi saat kekuatannya sedang aktif—baik saat masih dalam kendalinya maupun saat sudah di luar kendalinya. Namun baru kali ini iris matanya tetap merah saat kekuatannya tidak aktif.

Bukannya sama sekali tidak aktif. Bila dia perhatikan baik-baik, sesungguhnya ada hal-hal kecil yang tidak bisa dia lihat dan rasakan kecuali kekuatannya sedang aktif. Namun berbeda dengan rasa panik dan menekan yang biasa memenuhi pikirannya setiap menggunakan kekuatan yang ada di dalam mata kanannya, saat ini dia merasa jauh lebih tenang.

Apa yang membuat perbedaan?

Saat benaknya mempertanyakan itu pandangannya berpindah ke pelat logam tipis berwarna keperakan yang menjepit daun telinga kanannya. Pemuda itu tidak merasa memiliki benda itu sebelumnya. Tanpa sadar tangannya diarahkan menuju pelat keperakan itu, seolah hendak memastikan benda itu benar-benar terpasang di situ.

"...Jangan dilepas!" tegur gadis galak yang menyentil dahinya kemarin.

Pemuda itu tidak merasa heran dengan kemunculan mendadaknya. Bahkan sepertinya dia sudah menyadari kedatangannya sejak gadis galak itu baru memasuki ruangan melalui pintu lain—pintu keluar yang sesungguhnya.

"Bahkan aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi padamu bila anting segel itu sampai terlepas," jelas gadis galak itu seraya meletakkan kotak bambu yang terlihat mengepulkan uap hangat di atas meja mungil.

Rupanya pintu keluar ada di balik pembatas ruangan dari anyaman rotan dan bambu, menghalangi pandangan langsung dari pintu ke ranjang. Karena itu tadi dia tidak melihatnya.

Aneh juga bahwa pemuda itu bisa tidak menyadari keberadaan pintu keluar ruangan tetapi bisa mengetahui dengan tepat kapan gadis galak di hadapannya masuk—juga mengenai burung-burung yang terbang menjauh dari dekat jendela kamarnya.

Tunggu, pikirnya tiba-tiba. Dia sekarang memang bisa melihat posisi gadis itu dan meja mungil di kamarnya dari pantulan bayangan di cermin. Bagaimana gadis itu bisa tahu dia hendak menyentuh antingnya? Apakah gadis itu bisa melihat dirinya juga?

Pandangan mata pemuda itu diturunkan, melihat sosok dirinya yang hanya mengenakan pakaian dalam dan lilitan handuk di pinggang. Cermin di atas wastafel sepertinya hanya memantulkan sosoknya dari dada ke atas. Sedangkan baju gantinya ... Masih ada di atas kasur.

Pemuda itu lengah. Karena mendapat kamar mandi di dalam, dia tidak terpikir untuk membawa serta pakaian ganti. Sementara pakaian sebelumnya ... Dia memandang ke seutas tali yang dia rentangkan di kamar mandi, di situ tergantung baju atas dan bawah miliknya, masih meneteskan air karena baru saja selesai dia cuci. Gadis galak itu sepertinya belum menyadari juga.

Right EyeWhere stories live. Discover now