Perkumpulan

76 5 0
                                    

Suara kartu absensi yang ditandai dalam mesin terdengar berulang-ulang. Para pekerja berbaris, bergantian memasukkan kartu masing-masing ke dalam slot tipis di atas mesin.

Jgrrrek!!!

"Pukul 5:18 Sore," begitu bunyi stempel yang terpajang di kartunya. Hasil kerja mesin absensi. Tepat di atasnya tertulis, "Pukul 6:53 Pagi."

Dia baru saja menyelesaikan dua shift berturut-turut untuk jatah kerjanya hari itu. Menjadi buruh pabrik jelas bukan pekerjaan menyenangkan yang bisa membuat orang rela mengambil shift kerja lebih, tetapi demi tambahan penghasilan beberapa orang terpaksa menambah porsi kerja.

Seharian ini pekerjaannya adalah berdiri selama empat jam sembari mengupas berkilo-kilo udang, satu-persatu. Saat istirahat siang—untuk berhemat, dia terpaksa mengambil semangkuk bubur gandum asin, telur rebus dan sebutir apel atau sebatang mentimun dari jatah makan pegawai. Untuk ukuran makanan gratis, kaldu udang dalam buburnya cukup enak tetapi bila harus memakan itu untuk makan siang selama setahun penuh, lama-kelamaan dia merasa jenuh juga.

Pakaian kerjanya sudah dia tanggalkan. Setiap sebelum dan sesudah bekerja mereka diwajibkan mencuci tangan. Selama bekerja dia juga sudah mengenakan sarung tangan. Akan tetapi aroma anyir udang yang tersisa karena berjam-jam bekerja di tengah kupasan karapas dan cairan otak mentah itu samar-samar selalu tercium oleh hidungnya.

Untuk pulang, dia harus berjalan melintasi distrik pertokoan. Salah satu tempat yang dia benci. Toko-toko yang ada diatur sedemikian rupa hingga orang akan tahu mereka berjalan ke sisi distrik kota yang mana.

Warung minum dan depot makanan murah meriah berjajar dari arah distrik industri dan pergudangan. Toko kelontong dan pertukangan banyak terdapat setelahnya. Toko-toko barang kualitas rendah dan toko barang bekas berjajar ke distrik pemukiman tempat dia tinggal. Restoran dan toko-toko mahal lainnya berjajar ke arah distrik pemukiman menengah dan perkantoran. Sedangkan toko roti dan kue tersebar, menurut kualitas bahan yang digunakan.

Dia melayangkan pandangan ke arah sisi distrik pertokoan yang tak pernah dia dekati. Tangannya memutar gelang logam dengan nama pabrik udang tempat dia bekerja tertatah di salah satu sisinya dan nomor pegawai di sisi lain. Hanya pegawai kelas buruh yang mengenakan gelang semacam itu. Kartu identitas dari karton tebal cepat rusak dan mudah hilang, jadi mereka diberi gelang itu sebagai ganti kartu identitas mereka yang dititipkan pada pabrik.

Teringat pesanan orang rumah, dia memutuskan mampir ke salah satu toko langganan untuk membeli sebongkah roti murah. Ketika koin-koin hasil mengupas udangnya berpindah tangan, sentakan di punggung membuat beberapa menggelinding ke jalan.

"Hati-hati, bodoh!" serunya seraya membungkuk untuk memunguti koin yang terjatuh.

"...Kami sedang terburu-buru mengejar waktu!" ujar penyenggolnya sambil lalu. Menoleh pun tidak.

Yang ikut berjongkok dan memungut koin adalah orang lain yang terlihat seperti supir atau pelayan orang tak sopan yang menyenggolnya tadi. Dia baru akan berterimakasih pada orang baik itu ketika orang tersebut meletakkan koin-koin yang dia pungut langsung ke meja toko. Pandangan matanya tertuju ke arah gelang pegawai pabrik yang dikenakan si buruh kupas udang.

Tanpa berkata apa-apa, orang itu pun berlalu, mengejar tuannya yang pergi lebih dulu.

Mungkin tidak ada maksud apa-apa dari gestur tersebut. Mungkin hanya kebetulan dia memutuskan untuk meletakkan koin di meja, daripada menyerahkan langsung pada si buruh kupas udang. Akan tetapi tidak demikian yang ada dalam benak si buruh.

"Oi, ini rotimu mau sampai kapan di sini? Cepat ambil, sana!" tegur pemilik toko roti ketus.

Dengan kesal dia menyambar kantong kertas berisi bongkahan rotinya lalu bergegas keluar dari toko.

Right EyeWhere stories live. Discover now