"HUWAAANNNG!!!" jerit Kan-Kan, kombinasi antara kaget dan takut. "NGGAK MAUUU!!!" tangisnya lagi dengan suara kencang, seraya menepis kuat-kuat tangan pemuda jangkung itu.

"KAN-KAN!" panggil Ming-Ming yang menghentikan langkah karena mendengar tangis kencang sepupunya. "Jauh-jauh dari adikkuuu! Dasar orang asing!!!" seru Ming-Ming lagi seraya menerjang sekuat tenaga ke arah pemuda itu.

Walau tenaga anak-anak tidak berarti bagi pemuda jangkung itu, terjangan Ming-Ming cukup untuk membuatnya goyah. Ditambah gerakan memukul dan menampar tak beraturan dari Kan-Kan yang sedang ketakutan, bola karet di tangannya terlempar jauh.

Bola warna-warni itu memantul sekali sebelum membentur sebuah pintu logam yang terlihat tebal dan berat. Dilihat dari sudut mana pun, tidak mungkin kekuatan pantulan lemah sebuah bola karet mampu mendorong pintu itu. Namun di luar dugaan siapa pun yang ada di situ, satu sentuhan ringan dari bola tersebut membuat pintu logam di hadapan mereka terdorong membuka dengan suara klik nyaring.

"...Gawat...," gumam Ming-Ming, terdengar jauh lebih ketakutan dari sebelumnya.

"Ming-Ming ... K-k-kita akan dimarahiii...," isak Kan-Kan seraya menggenggam erat lengan baju kakak sepupunya.

"Eh ... Kenapa? Ada apa dengan ruangan itu?" tanya pemuda berambut cokelat di dekat mereka, terdengar bingung.

Ming-Ming menoleh kepada tamu asing yang masih berdiri di dekat Kan-Kan. Memang tidak seberapa jelas karena matahari sudah mulai terbenam, tetapi rambut dan mata tamu asing itu jelas-jelas berwarna cokelat, tidak seperti siapa pun yang pernah dia temui di kediaman klan.

"Itu adalah Ruangan Terlarang," jelas Ming-Ming.

"Ming-Miiing, kita tidak boleh kasih tahu tentang ruangan itu para orang luaaar, kan?" protes Kan-Kan, masih terisak seraya menarik-narik lengan baju anak yang lebih besar darinya itu.

"Shhht ... Diam dulu! Aku juga tahu itu... ."

Ming-Ming menengadah memandang lekat-lekat pada orang asing di hadapannya.

"Paman," panggil anak itu memulai. "Aku tahu Paman bukan orang sini, jadi ... Aku minta ambilkan bola kami yang masuk ke dalam ruangan itu! Paman pasti bisa, kan?"

Pemuda itu terdiam. Dia terlihat berpikir sejenak lalu membuka mulut dan bertanya,"Kenapa aku harus melakukan itu?"

"K-kan ... Paman yang membuat Kan-Kan jatuh dan membuat bola kami masuk ke situ?"

"Eeeh, masak? Kapan itu terjadi?" tanya pemuda itu lagi seraya mengelus dagu, pura-pura berusaha keras mengingat sesuatu.

"Jangan main-main! Bukannya Paman yang mengejar kami sampai Kan-Kan jatuh?!" protes Ming-Ming berang.

"Sepanjang yang saya ingat, kalian sendiri yang kabur dari saya," jawab pemuda itu santai. "Lagipula, apa begitu cara meminta tolong pada orang lain ... Terlebih, pada orang yang lebih tua dan baru saja menerima serangan maut yang nyaris mengambil nyawanya ini?"

"Arrrgh ... Paman ini nyebelin! Tinggal ambilin bola aja, apa susahnya, sih?"

"...Paman, bisa tolong ambilkan bolanya untuk kami?" Kali ini Kan-Kan yang meminta walau sambil terisak. "Kami dilarang mendekati ruangan itu, kalau sampai ketahuan orang-orang dewasa ... Kami bisa dihukum... ."

"Nah, begini contoh minta tolong yang benar!" komentar pemuda itu dengan senyum lebar. "Kalau meminta tolong dengan baik serta memberikan alasan yang tepat, dengan senang hati orang akan membantu. Kau harus belajar dari adik sepupumu, anak kecil!" tambahnya seraya mengacak rambut hitam Ming-Ming.

"A-apaan, sih?! Aku juga tahu itu ... Tadi kan darurat, jadi aku lupa!"

Pemuda itu tertawa melihat tingkah Ming-Ming yang berusaha menyembunyikan malu walau terlihat dari wajahnya yang merona. Dia melangkah menuju ruangan yang dimaksud Ming-Ming dan Kan-Kan.

Right EyeWhere stories live. Discover now