"Kalau menurutmu begitu, baiklah...," desah Theo.

Pada akhirnya remaja berkacamata itu sendiri akan terlihat menikmati usahanya menjelaskan apa yang ditanyakan oleh Jullie. Apalagi karena gadis itu akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap detil penjelasannya.

Alex tidak begitu paham soal perasaan romantis antar dua manusia—dia sendiri belum pernah merasakannya, tetapi remaja satu itu ikut merasa senang bila melihat interaksi dua orang temannya yang saling menyukai. Sebisa mungkin dia akan memberikan bantuan pada Jullie setiap gadis itu bermaksud menunjukkan perhatiannya pada Theo.

***

"LAMBAT!!!" seru Dean kesal. Suaranya sangat kencang, bisa terdengar hingga ke seberang lapangan dengan jelas.

"Ih, baru juga telat semenit ... Lagipula salahmu sendiri numpuk sampah di dalam tas, jadinya kami harus beresin semuuua isi tasmu baru bisa ambil pemberat pergelangan yang kamu maksud!" balas Jullie tidak kalah sewot.

"Sampah ap- ... Oi, Cewek Kepang! Kamu nggak buang isi tasku, kan?!"

"Mauku sih gitu ... Tapi Tuan Bangsawan di sini...," Jullie menunjuk ke arah Alex. "...Sudah berbaik hati menyiapkan wadah pengganti selagi kami mengosongkan tas bulukmu!" sergah Jullie sembari menusukkan telunjuknya berkali-kali ke logo sekolah di kaus olahraga yang dikenakan Dean.

"Sudahlah, Jullie...," Ales mulai menimpali dengan kalem. "Dean pasti punya alasannya sendiri menimbun spesimen tempat berkembang biak jamur dan lumut itu di lokernya, jadi aku merasa kita tidak boleh lancang membuangnya begitu saja."

"...Al, aku tidak tahu kau bermaksud membelaku atau mau menghina, tapi ... Trims, aku butuh kulit-kulit itu untuk dirombeng ke bengkel kenalan pulang sekolah nanti."

"Ah, aku hanya mengambilkan kantongnya. Idenya dari Tuan Penasehat ini," timpal Alex merendah seraya menepuk pundak Theo yang baru saja sampai.

Yang ditepuk pundaknya hanya membetulkan kacamata untuk menyembunyikan sipu yang dia rasakan karena tidak terbiasa dipuji.

Dean remaja laki-laki berpostur bongsor dengan lengan cukup berotot untuk ukuran sebayanya.  Keangkerannya wajahnya yang berahang kuat diperparah dengan bekas luka melintang sepanjang kelingking di dahinya. Ditambah rambut pirangnya yang dipotong cepak, membuatnya terlihat seperti tentara.

Namun penampilan itu jauh lebih lunak dibandingkan dengan penampilannya saat kali pertama masuk sekolah. Dulu Dean terlihat lebih buas dan sulit didekati dengan rambut pirang yang dia biarkan tumbuh liar. Mata kelabunya yang sering tertutup rambut depan yang tak beraturan, selalu menatap garang pada siapa pun yang mencoba berinteraksi dengannya.

Belakangan ketiga orang temannya baru menyadari bahwa di balik sikap kasarnya, Dean sebetulnya baik hati. Uang hasil mengumpulkan barang-barang kulit bekas itu pun rencananya akan dia gunakan untuk membelikan hadiah ulang tahun untuk adiknya.

Dean sudah pindah ke dalam area Plate dua tahun belakangan ini, tetapi dia baru bisa menyesuaikan diri setelah bertemu dengan Alex dan yang lainnya. Di sekolahnya yang lama, dia berkali-kali mendapat masalah karena orang-orang di sekelilingnya sering memberinya perlakuan diskriminasi. Akibatnya Dean sulit mengikuti pelajaran dan dua kali mengalami tinggal kelas.

Hal itu juga yang menyebabkan dia mengalami luka besar di keningnya. Bagi pemuda itu, bekas lukanya sempat menjadi sesuatu yang memalukan. Untuk menutupinya, Dean membiarkan rambutnya memanjang.

Berkat usaha kerabatnya, pemuda bongsor itu mendapat rekomendasi beasiswa atlet untuk masuk ke sekolah yang sama dengan Alex. Namun pengalaman di sekolah yang lama membuatnya sempat bersikap waspada sejak awal, bahkan cenderung offensif.

Right EyeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora