15

2 0 0
                                    

Entah mengapa, dulu di sekitaran desaku, orang-orang sungguh kompetitif dalam semua hal. Bertani, bekerja, beramal, bersekolah. Maunya semua yang paling bagus. Sholat di masjid pada berebut shaf terdepan. Bahkan mengaji pun kadang berebut microphone.

Yang paling bikin sebal mungkin soal sekolah mengaji, alias TPQ. Sebenarnya di desaku, banyak orang yang cukup kompeten untuk menjadi guru mengaji, dua tiga orang diantaranya punya latar pendidikan agama yang bagus. Tapi entah mengapa, mereka tak laku di kalangan ibu-ibu kampungku sendiri. Padahal, dulunya anak-anak generasiku lebih memilih mengaji di desa sendiri, selain karena lebih dekat dan gratis, dari sanalah anak-anak sepantaranku jadi kenal satu sama lain, juga tahu nama-nama tetangga di sekitaran jalan menuju masjid—karena kami suka jalan kaki atau bersepeda menuju tempat mengaji. Kami saling sapa. Namun, sepertinya ibu-ibu muda yang kekinian lebih suka menyekolahkan anaknya ke sekolah terpadu di desa seberang yang lebih jauh. Entahlah, tapi mereka suka-suka saja harus direpotkan untuk antar jemput, belum lagi biayanya yang lebih mahal dari sekolah umum biasa. Bagus, sih, fasilitas dan kualitas gurunya lebih mumpuni. Eh, sayang disayang, orang tua anak-anak itu jadi sombong bukan kepalang. (Ghibah tipis-tipis).

Ramadan JournalWhere stories live. Discover now