3

609 20 0
                                    

Perempuan itu begitu cantik dan berpenampilan modis. Kulitnya putih dan licin, bahkan nyamuk saja mungkin akan terpeleset jika berani mendarat di kulitnya. Memang cocok jika bersanding dengan suaminya yang tampan. Terlihat canda tawa dan senyuman yang tak pernah luntur sedari tadi dari wajah itu.

Berbanding jauh terbalik ketika bersamanya. Jangankan sebuah senyuman tipis, berbicara pun hanya sesekali.

Mungkinkah sudah saatnya ia melepaskan? Dipertahankan pun percuma rasanya. Tak ada kemajuan berarti.

Namun, bagaimana dengan anak-anaknya? Walau bagaimana pun mereka butuh sosok 'Papa'. Ia takut perpisahan ini akan menyakiti kedua buah hatinya.

"Bu, itu benar Papa, bukan? Kita samperin, yuk,"

"Sepertinya bukan. Mungkin itu hanya mirip saja. Ayo, Ello mau beli jajanan apa?" tanya Selina mengalihkan perhatian. Ia tak ingin anaknya mengetahui hal yang tak sepatutnya dilihat oleh seusianya. Tak ingin mencederai sosok seorang papa sehingga menjadi buruk.

Cukup ia sendiri saja yang memendam luka, tidak dengan anaknya.

"Boleh minta apa saja?" tanya Ello penuh harap.

"Hemm, untuk kali ini Ibu bolehkan."

"Horeee ...." Ello bertepuk tangan kegirangan. Jarang sekali ibunya seperti ini.

"Ayuk, kita jalan lagi. Kasihan adik belum makan apapun." Sambil menggandeng kedua anaknya, Selina menoleh sejenak kepada lelaki yang masih asyik bersenda gurau di bangku kafe. Menghela napas sejenak, lalu melanjutkan langkahnya kembali.

Mungkin sang hati sudah sedikit kebal, sehingga nyerinya tak terlalu menusuk.

***

"Loh, Selina kamu di sini juga sekolahin anaknya?" ucap seseorang dari arah samping.

Menoleh ke sumber suara, Selina terkaget. "Eni? Hai, apa kabar." Mereka pun saling berpelukan dan bertanya kabar. Eni adalah teman kerjanya yang terbilang cukup dekat. Setelah keluar kerja, ia memang tidak pernah berhubungan lagi dengan teman-temannya.

"Kamu kok terlihat kurusan?"

"Ah, biasa aja. Dari dulu juga begini."

"Anakmu di kelas mana? Siapa tahu samaan. Terus kamu sibuk apa sekarang?"

"Anakku yang kedua di kelas melati. Baru masuk tahun ini."

"Ohh, sekelas dong dengan anakku. Kenapa kita baru berjumpa, ya."

Selina hanya mengedikkan bahu. "Entahlah."

"Main, dong, kapan-kapan ke rumah. Kamu tahu sendiri kan, aku selalu dilarang kemana-mana kalau bukan nganterin anak sekolah. Pusing deh punya suami pencemburu."

Selina merasa kehidupan Eni lebih beruntung darinya. Punya suami yang perhatian dan pencemburu. Ia bahkan lupa bagaimana rasanya dicemburui.

Eni bukan sosok yang tinggi langsing, putih dan cantik. Ia sosok yang begitu biasa, sedikit hitam, bahkan agak gendut. Tapi suaminya begitu mencintai dan menjaganya. Selina pernah melihat sendiri keromantisan pasangan itu.

Bikin iri siapa pun yang melihat. Perbedaan yang kontras dengan dirinya.

"Suami tampanmu mana?"

"Jam segini, ya, lagi kerja."

"Punya suami tampan itu susah jagainnya. Kudu kuat mental dari serangan wanita pemburu. "

Selina mengernyit, merasa aneh dengan istilah itu. "Wanita pemburu?"

"Ya, pemburu laki orang. Biasanya mereka merasa bangga ketika berhasil merebut dan si lelaki lebih memilihnya daripada istri sahnya."

"Ah, kamu nakutin, aja."

"Ihh, dibilangin nggak percaya. Makanya kamu harus jagain yang bener biar nggak ke lain hati. Terus ini, loh, penampilan kamu dirubah kenapa sih. Jangan terlalu cuek dengan penampilan. Dari dulu penampilan begini aja."

Selina memandang sekilas penampilannya. Gamis warna biru langit dengan jilbab senada. Wajahnya juga biasa saja tak ada sentuhan apapun atau pewarna bibir.
"Emang begini salah, ya?"

"Ya, salah dong. Kalau udah punya suami kamu harus jaga penampilan. Jangan biarkan pelakor merajalela."

Teringat suaminya saat di taman bersama seorang perempuan cantik, membuat dirinya berpikir. Mungkinkan karena memang penampilannya terlalu sederhana sehingga tak pernah dilirik sekalipun oleh suami sendiri?

"Mau aku kenalkan salon kecantikan terbaik?"

***

Arfan baru tiba di rumah jam sembilan malam. Hari ini, pacarnya tak menelepon ingin ditemani jadi ia memilih pulang cepat. Padahal biasanya sebelum jam pulang, dirinya akan diteror telepon dan WA yang berisi rayuan untuk datang ke rumah Rindah, sang pacar. Tumben sekali.

Suasana rumah sudah sepi. Anak-anaknya pasti sudah tertidur. Walau istrinya menyebalkan ia tetap menyayangi buah hatinya. Setidaknya itu adalah kesalahan yang manis.

Ia memang jarang memperhatikan anaknya. Untuk apa pula, toh semua itu adalah kewajiban istrinya. Tugas dirinya hanya mencari uang. Itu saja.

Memasuki kamar, ia tak melihat sang istri yang biasanya sudah tertidur.

'Kemana dia?'

"Ah, apa peduliku."

Merasa badannya begitu lengket, ia pun membuka baju dan bersiap mandi.

Setelah selesai beberapa belas menit kemudian, ia keluar kamar mandi. Istrinya ternyata masih belum ada.

Merasa aneh dengan keadaan, ia pun mengecek keluar setelah berpakaian lengkap.

Tujuan utamanya adalah kamar si sulung.

Membuka pintu kamar, melongok sebentar, penghuninya ternyata tidak ada.

"Loh, ini penghuni pada ke mana?" gumamnya.

Ia pun kembali ke kamar, mengambil ponsel. Ia akan memarahi si istri habis-habisan. Beraninya jam segini masih diluar bahkan tanpa ijin darinya.

Ketika membuka ponsel, terdapat puluhan panggilan tak terjawab dari istrinya. Ponselnya memang selalu disilent agar tak mengganggu saat kebersamaan dengan pacar tercinta. Walau hari ini ternyata pertemuannya gagal.

Mengernyit heran, ia membuka pesan WA tersebut.

Isinya membuat dirinya membelalak tak percaya.

***

Cinta Wanita Biasa (Buku Stok Ready)Where stories live. Discover now