Petrichor {1}

39.7K 1.4K 30
                                    

Satu

“Juli dapat pekerjaan...,” sesaat, aku menahan kata-kataku, sebab Paman Panji menatapku dengan ekspresi terkejut. “Paruh waktu, kok. Nggak bakal mengganggu jadwal kuliah.”

“Ya bagus kalau begitu.” Bibi Asri berkomentar, sebelum meneguk air mineral di gelasnya. “Maksud Bibi, bagus kalau nggak mengganggu jadwal kuliah kamu.” Ia buru-buru berkata begitu seolah jika ia tak melakukannya, akan ada seseorang yang tersinggung dan yang lainnya menuduh ia tak berperasaan. Kemudian, ia melanjutkan sarapannya.

“Kamu yakin?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Paman. “Memangnya, pekerjaan paruh waktu jenis apa yang bakal kamu lakukan?”

Sesaat, aku menatap Delta yang sudah lebih dulu mengetahui hal ini, kemudian menatap Alfa yang tampak tak acuh, lalu menatap Bibi yang tersenyum lega atas keputusanku, dan akhirnya menatap Paman yang masih menunggu jawaban. “Juli jadi penyanyi kafe. Jam kerjanya dimulai dari pukul sembilan sampai sebelas malam, dari hari....”

Paman menggeleng sambil meneguk air mineral, lalu berkata sebelum aku menyelesaikan jawaban. “Lebih baik kamu selesaikan kuliah kamu. Tinggal dua tahun lagi. Itu nggak akan lama sampai akhirnya kamu bisa bekerja.”

“Tapi....”

“Semua ada masanya, Juli,” potong Paman. “Masa kanak-kanak sebaiknya dihabiskan dengan bermain-main. Masa sekolah dan kuliah sebaiknya diisi dengan belajar sebaik mungkin. Dan setelah itu ada masa bekerja yang harus dijalani dengan komitmen dan tanggung jawab. Jadi, biarkanlah masa-masa itu berjalan sebagaimana mestinya.”

“Pa,” ucap Bibi sambil menatap Paman yang duduk di dekatnya, “mungkin Juli cuma mau belajar lebih mandiri. Lagian, itu juga kerja paruh waktu, cuma dua jam. Itung-itung latihan sebelum masuk ke dunia kerja yang sebenarnya.”

“Menjadi penyanyi kafe itu nggak nyambung sama mata kuliah Akuntansi yang selama ini digeluti Juli, Ma. Dan memangnya, nggak berbahaya kalau setiap malam, Juli pulang di atas jam sebelas? Belum lagi, udara malam itu nggak bagus buat kesehatan.” Selesai berbicara kepada Bibi, Paman berbicara kepadaku. “Paman nggak setuju. Pokoknya, kamu selesaikan dulu kuliah kamu. Habis itu, baru kamu boleh bekerja, dan itu pun harus sesuai dengan bidang yang kamu pelajari.”

“Tapi, Paman....”

Paman menggeleng, dan kemudian mengalihkan topik pembicaraan. Menanyakan hasil kuis-nya Delta untuk mata kuliah Methodologi Penelitian Hubungan Internasional yang beberapa hari lalu sempat mereka diskusikan, menanyakan jadwal pertandingan basketnya Alfa di sekolah, hingga membahas rencana kunjungan ke rumah Nenek pada liburan nanti.

Aku menikmati sisa sarapan dengan perasaan gusar. Pekerjaan paruh waktu yang kukatakan beberapa saat yang lalu itu adalah satu dari beberapa daftar yang akhirnya kusanggupi. Aku hanya seorang penyanyi kamar mandi yang memberanikan diri melamar pekerjaan sebagai penyanyi di sebuah kafe yang dimanajeri oleh saudara teman kampusku. Setelah dua kali menjalani proses audisi, aku pun dinyatakan layak atas pekerjaan itu. Aku merasa sangat bersemangat dan sedikit bangga pada diriku sendiri. Akhirnya, aku bisa sedikit meringankan beban keuangan keluarga Paman. Namun setelah kukemukakan rencana itu, Paman melarangku merealisasikannya.

Sudah hampir lima belas tahun aku hidup bersama Paman dan keluarganya, sejak Mama meninggal dunia saat aku berusia empat tahun. Sayangnya, aku tak pernah tahu di mana keberadaan Papa. Sejak aku mulai bisa mengingat sesuatu, hanya ada Mama di dalam kehidupanku. Kami tak pernah membicarakan Papa, sampai suatu hari aku menyadari bahwa sepupuku Delta tidak hanya memiliki seorang Mama melainkan juga Papa. Mama bilang, aku tak punya Papa. Mama bilang, hidup tanpa seorang Papa bukanlah hidup yang tidak normal, jadi bersikaplah wajar dan berbahagialah seperti semua orang.

Jika ada seorang lelaki yang harus kuanggap sebagai Papa, orang itu adalah Paman Panji. Dia adalah adik kandung Mama. Bersama istrinya, dia merawat dan membesarkanku hingga sekarang. Saat-saat pertama tinggal bersama mereka, aku sempat merasa takut dan agak menutup diri. Namun, Delta yang usianya setengah tahun lebih muda dariku itu menerimaku dengan begitu hangat. Ia berbagi kamar dan tempat tidur denganku, dan setiap malam minta dibacakan cerita karena aku sudah lebih dulu bisa membaca. Begitu juga dengan Alfa yang usianya tiga tahun lebih muda. Meski sikapnya cuek dan dingin, aku tahu dia tak pernah menganggapku orang lain. Dan Bibi Asri pun memperlakukanku selayak anak kandungnya (sampai ketika aku tumbuh remaja, aku mulai sering mendengar keluhan-keluhannya tentang keberadaanku di rumah ini).

Selulus SMA, kuputuskan untuk mencari pekerjaan dan mengabaikan keinginan untuk kuliah. Tetapi, Paman tak meloloskan keputusanku yang menurutnya payah itu. Dia selalu bilang, melakukan apa yang dia perintahkan adalah cara terbaik bagiku untuk membalas kebaikan-kebaikannya. Dan semua perintah Paman tidak terdengar seperti perintah, melainkan serupa penawaran yang menyenangkan. Namun, setiap kali aku memikirkan dan menghitung kebaikannya, saat itu aku merasa hutang budiku kepadanya semakin bertambah. Tak hanya kepada Paman seorang, melainkan juga kepada semua anggota keluarganya.

Untuk itu, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi mereka semua. Giat belajar dan berusaha untuk berprestasi di sekolah. Membantu mengerjakan tugas-tugas asisten rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian dan peralatan makan, menyapu dan mengepel lantai, membereskan rumah dan membersihkan halaman, dan apa pun pekerjaan rumah tangga yang bisa kulakukan.

Setiap hari, aku berusaha bangun lebih pagi dari semua orang, termasuk Mbok Darmi, asisten rumah tangga kami yang sudah cukup tua dan sering membuatku iba itu. Alih-alih memintanya melakukan ini-itu, aku lebih suka mengambil alih tugasnya dan menyuruh Mbok Darmi beristirahat. Dan hampir setiap hari, akulah yang mempersiapkan sarapan di rumah ini. Berbagai menu masakan kupelajari dari buku resep atau majalah. Meskipun kuakui rasa masakanku tidak sesempurna yang diharapkan semua orang, setidaknya selama ini belum ada anggota keluarga yang masuk rumah sakit karena keracunan masakanku.

Dan setelah semua orang selesai sarapan, aku akan membereskan meja makan, lalu mencuci sendok, gelas, dan piring kotor.

Ponselku berdering saat aku baru saja menyalakan keran di bak cuci piring. Daraz menelepon. Ini memang bukan kali pertama dalam hidupku, namun aku masih saja mengalami Daraz Syndrom setiap melihat namanya menari-nari di layar ponselku. Selama beberapa detik, aku hanya memandangi nama itu dengan pikiran yang nyaris nge-blank dan jantung yang berdegup lebih kencang, sebelum akhirnya menekan tombol jawab.

“Ya? Kenapa, Raz?”

“Bisa minta tolong kasih tau Delta kalau hari ini aku nggak bisa nganter dia ke kampus?” Dan suara lelaki itu selalu terdengar sama dari waktu ke waktu. Selalu mampu menggetarkan telinga dan hatiku.

“Ya. Bisa.”

“Jadwal kuliahku dimajukan, dan aku udah di kampus dari sejak setengah jam yang lalu. Handphone Delta nggak bisa dihubungi.”

“Oh, oke. Nanti aku bilangin.”

“Thanks ya, Jul.”

“Sama-sama, Raz.”

Panggilan telepon berakhir. Dan aku mengalami Daraz Syndrom II. Menahan ponsel di telinga selama beberapa detik dengan pikiran yang nyaris nge-blank dan jantung yang berdegup lebih kencang. Seakan, Daraz masih sedang berbicara denganku. Seakan, Daraz sedang menungguku menutup panggilan telepon lebih dulu.

PetrichorWhere stories live. Discover now