"Hyung kenapa menikahiku?"

Jungkook tertegun saat Hyungnya hanya mendadak diam dan malah mengecup dahinya begitu banyak. Rasanya Jungkook membutuhkan banyak jawaban agar segudang tanya dalam hatinya terjawabkan dan mulai menghilang, tapi disaat yang sama juga ada rasa khawatir yang terbesit kalau-kalau jawaban Hyungnya malah membuat ia merasa sakit hati.

"Tidak punya alasan spesifik. Sayang pada semata wayangnya Mama Jeon, ingin melihatnya tumbuh dewasa lebih banyak dan membuatnya selalu disertai bahagia. Apa itu jawaban rumit ataukah terlalu sederhana untukmu Boy?"

Jungkook reflek menjauhkan diri dari Taehyung yang sibuk tertawa. Telak malu dan menyesal sudah bertanya. "Hei jangan cemberut, yang jelas Hyung tidak berniat untuk membuatmu sakit, tidak berniat membuatmu menangis meskipun sepertinya kau hanya akan menangis kalau Mama marah. Kau tau sendiri bagaimana Hyung padamu."

Jungkook merengut sebelum menjatuhkan kepalanya di pangkuan Taehyung. Memainkan resleting jaketnya sendiri sembari berpikir, selama tujuh belas hari belakangan—apa-apa saja yang membuatnya mampu telak jatuh. Kenapa ia bisa dengan mudahnya takluk disaat yang Taehyung lakukan bahkan hampir sama dengan apa yang dilakukan Mama setiap hari kepadanya. Mungkin bedanya Mama sering marah, sedangkan Hyungnya lebih suka menegurnya dengan tegas tanpa membuatnya merasa dipojokkan tiap kali ia melakukan kesalahan.

Mungkin, mungkin hanya itu.

"Hyung baik sekali, aku muak. Lelah menahan malu."

Taehyung tergelak dan hanya bisa mengalihkan pandang sembari menangkap kue ikan yang Jungkook layangkan untuk di santap olehnya. Taehyung jarang sekali berada dalam lingkup ramai yang dalam konteks tidak bekerja. Jadi sewaktu kemari, ia seolah memasuki hiruk pikuk dunia yang baru. Tapi dirinya sama sekali tidak merasa asing, sebab yang ada di pangkuan selalu punya cara tersendiri untuk membuat Taehyung merasa nyaman dimanapun ia berada.

"Aku memikirkan sesuatu yang lebih realistis."

Taehyung sedikit memiringkan kepala dan menatap mudanya lebih intens. Sebelah tangannya digunakan untuk menopang tubuh dan satu lagi digunakan untuk mengusap lembut pipi si teladan. "Apa lagi yang kau pikirkan hm?"

"Hyung tidak punya teman? M—maksudku, aku jarang sekali melihat Hyung ada interaksi atau sekedar basa basi dengan dosen lain. Hyung selalu makan sendiri di kantor, pergi menggunakan bus disaat dosen lain bersama-sama menaiki satu mobil, di pernikahan kita pun kebanyakan yang datang hanya kerabat juga rekan kerja orang tua kita. Hyung, kalau Hyung mau minum-minum, atau sekedar berkumpul bersama kawanmu, aku selalu mengizinkan kok. Aku tidak mengekangmu asal keluarnya tidak berdua saja dengan cewek."

Taehyung menunduk untuk menghentikan Jungkook juga segala bicaranya yang begitu panjang dengan mengecup lembut bibir bawahnya. Anak ini kelewat menggemaskan ketika bertanya sembari menggerutu begitu. "Temanku hanya tiga, Profesor Jung, Kim Minjae, juga kau."

"Aku?"

Taehyung lagi-lagi terkekeh saat Jungkook menunjuk dirinya sendiri masih dengan rona samar yang tercetak pada dua pipi gembilnya.

Dulu sekali, Taehyung pikir—Jungkook adalah pemuda dengan jiwanya yang penuh dengan ambisi dan tanpa rasa takut. Hal itu, memang fakta dan ia selalu melihatnya dari sirat pandang yang dilempar Jungkook tiap-tiap ia masuk dalam kelasnya.

Pernah sebanyak empat kali melihat Jungkook babak belur hanya karena membela vokalis atau teman-temannya yang dihujat oleh senior, hal itu sempat membuat Taehyung berpikir dua kali tatkala akan mendatangi si calon ibu mertua.

Bayangan dimana Taehyung hanya akan berakhir dengan dibanting alih-alih membanting setelah keduanya memiliki hubungan seketika menguasai pikiran dan membuatnya tidak tidur selama tiga hari tiga malam penuh.

amante | taekookWhere stories live. Discover now